sumber: instagram.com/gentakiswara |
Beberapa waktu yang
lalu kita adalah sepasang keinginan untuk menyatu. Saling menyajikan
kebahagiaan tanpa jemu. Menanyakankabarmu adalah hobiku saat itu, membesukku
adalah hal favoritmu setiap waktu. Beberapa masalah dapat kita tanggulangi
tanpa menggerutu.
Namun, itu dahulu
sebelum rasa sepi benar-benar membuatku mati. Sebelum di khianati menjadi
kendali kesedihan hati. Sebelum hati ini di jeruji oleh sebuah kata pergi yang
saat ini tidak bisa kumengerti. Sebelum kau dan aku menjadi sepasang diam yang
dahulunya haram dengan kata bungkam.
-Genta Kiswara-
Pada Sebuah Kata Pergi, sebuah judul buku berisi prosa-prosa
karangan Genta Kiswara yang lahir dari kerapuhan, keretakan, dan kekecewaan
hati. Sebuah buku yang mampu menyihir pembaca untuk merasakan sakitnya patah
hati. Menyulap patah hati menjadi sebuah karya, itulah Genta Kiswara.
sumber: instagram.com/gentakiswara |
Pria jangkung yang kerap disapa Gegen ini mulai menggeluti
dunia tulis menulis sejak duduk di bangku Sekolah menegah Pertama (SMP), tetapi
ia mengaku mulai aktif menulis tiga tahun terakhir ini. Gegen mendapatkan
inspirasi dari berbagai kehidupan yang sudah ia lewati dan jalani. Berbagai
permasalahan dalam hidupnya, baik suka dan duka, ditorehkan menjadi kata-kata
yang mampu mengiris-iris hati pembacanya. Terlebih ketika seseorang pernah
mengkhianati dirinya, meninggalkan sebuah ruang kosong dengan beling-beling di dalamnya.
Dari situlah ia memutuskan untuk berkelana menenangkan hati
dan pikiran yang kalut akan pengkhianatan, akan cinta yang ia lalui, akan
kisah-kisah indah, akan masalah yang selalu dihadapi bersama, kini ia harus
menanggung semua sendirian, membawa pergi hati yang retak, kembali bersama alam
untuk menyembuhkan hati yang rusak parah.
Memang benar kata orang yang aku lupa siapa namanya, Karya
yang hebat terkadang lahir dari jiwa-jiwa yang tersakiti. Begitulah Gegen, pria
kelahiran Pariaman 27 Mei 24 tahun silam ini menuangkan kisah pelik hidupnya
dalam huruf-huruf yang menjadi kata-kata kemudian tergabung dan menjelma dalam
kalimat-kalimat yang indah dan penuh makna. Memotivasi insan-insan merana dan
mengajak mereka yang sehat untuk merasakan sakitnya patah hati. Mungkin ini
makna berbagi tak pernah rugi.
Aku bersyukur mengenal nama pria berambut gondrong ini meski
sedikit terlambat. Bak kata orang bijak, bukankah terlambat itu lebih baik
daripada tidak sama sekali?. Sebuah undangan dilayangkan ke organisasiku
Gagasan UIN Suska Riau, sebuah lembaga pers mahasiswa. Meliput berita adalah
kerjaku, bertemu orang luar biasa adalah bonusku.
Tak pelak undangan ajakan kerja sama sebagai media partner ini kumanfaatkan sebaik-baiknya. Berbekal sebuah nama yang asing di mata tapi seperti pernah
kudengar di telinga, ku telisik lagi nama lelaki penikmat kopi ini. Yup baru
mengintip melalui jendela instagram aku sudah terhenyuh dengan kata-kata yang
ia torehkan di setiap caption
foto-fotonya. Yang membuatku semakin tertarik adalah kalimat-kalimatnya yang
mampu membuatku tersihir seolah-olah pernah merasakan tapi entah di mana. Tanpa
sadar Gegen berhasil menyeretku dalam luka-luka yang ia rasakan, membuatku
kembali mengingat rasa sakit yang pernah menoreh hati. Tetapi entah mengapa,
aku suka.
Menyulap Patah Hati
Menjadi Kebaikan
Bagaimana mungkin? Patah hati menjadi menjadi kebaikan?.
Tapi memang itu tema yang diusung Public
Relation Celebration yang mendatangkan Gegen. Dari sakit hati itulah Gegen
terinspirasi, bukan dari rasa bahagia, tetapi dari sakit yang menorehkan luka
cukup dalam.
Jadi andaikan suatu saat nanti kau patah hati kawan, usahlah
kau bersedih hingga berlarut-larut. Jadikanlah itu suatu pelajaran, jadikanlah
itu sebuah kenangan, jadikanlah itu sebuah karya yang mewakili dendam mu pada
dia yang menyakitimu.
Kenapa harus menulis? Kelak bibirmu akan dikubur ke dalam
tanah. Maka, menulislah. Itulah slogan yang acap kali Gegen ucapkan. Ketika
ditanya kenapa, Gegen mengutarakan jika dengan menulis karyanya akan tetap
hidup dan bermanfaat bagi orang lain, dengan menulis itu menjadi bukti bahwa ia
pernah ada di dunia selain pusara.
Kalau hidup sekadar
hidup, babi di hutan pun hidup. Kalau
bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja.
-Buya Hamka-
Itulah sepenggal kalimat ajaib Buya Hamka yang selalu
digenggam Gegen Sang Pencinta Kopi. Kuberi tahu padamu kawan, Gegen mengaku dia
sangat mencintai kopi, baginya kopi sudah seperti air putih pelepas dahaga,
bisa dia lupa minum air putih hanya karena terlanjur minum kopi. SeIain penulis
ia juga seorang barista di kedai kopinya sendiri, katanya jika ingin menemui datang saja ke Espresso Beach Café, Pantai Gandoriah, Pariaman. Datanglah
saat malam karena Gegen termasuk manusia nokturnal.
Kopi dan Gegen ibarat gula dan semut, jangan harap untuk
memisahkannya, karena kau pasti tau sendiri kawan, rasaku tak perlu susah payah
aku jelaskan. Kopi juga melahirkan filosofi menarik bagi Gegen. Nikmatilah kopi
terpahit tapi dengan kenangan termanis, entah apa maksudnya yang jelas
menurutku mereka berdua pacaran meski ketika ditanya Gegen lebih senang
menjawab bahwa dia single.
Evolusi Rindu, adalah buku kedua Gegen setelah Pada Sebuah
Kata Pergi, jika di buku pertama Gegen menjelaskan kisah pilu cintanya dalam
prosa maka di Evolusi Rindu Gegen mengisahkan kerinduannya akan sesuatu yang
masih memiliki keterkaitan dengan Pada Sebuah Kata Pergi.
Bagiku rindu adalah
suatu perasaan gundah dan bahagia yang terjadi karena faktor jarak, kehilangan,
dan kepergian. Perasaan tersebut bisa saja suka, duka, lara atau bahkan kecewa.
Tergantung posisi diriku, apakah merindukan seseorang karena terpisahkan oleh
jarak, atau merindukan seseorang yang hilang tanpa alasan, atau bahkan merindukan
seseorang yang telah benar-benear pergi dari kehidupan ini. Faktor-faktor
tersebutlah yang sering kali menjadi landasan atas kemunculan rindu dalam
kehidupanku, memengaruhi perasaan yang kemudian membuat diriku gundah gulana,
suka dan duka, atau kecewa dan lara.
-Genta Kiswara-
Selain menulis Gegen juga memiliki hobi traveling dan
fotografi. Bisa dilihat dari foto-foto yang berserakan di sosial media miliknya
dan buku-bukunya. Baginya traveling adalah menyatu dengan alam, tempat mencari
inspirasi dan pengobat luka, tak tanggung-tanggung sudah banyak tempat-tempat
di Indonesia yang berhasil ia pijak. Hutan, gunung, sawah, lautan telah ia sambangi, dari Marapi hingga Rinjani, dari
Aceh hingga Maluku. “Aku paling suka Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa
Tenggara Barat (NTB),” katanya. Dari traveling juga Gegen banyak menghasilkan
karya. Ia menuturkan bahwa untuk buku ke tiganya nanti akan bertajuk traveling.
“Membaca dan menulis itu tak bisa dipisahkan, ketika pikiran
sedang buntu bacalah, baca buku, jika tidak ada uang untuk membeli, pergilah ke
perpustakaan,” kata Gegen. Ia juga mengatakan jika menulis tanpa membaca sama
hal nya dengan berkata-kata tanpa tahu makna, bagaimana mungkin seseorang
menulis novel tanpa pernah membaca novel?
Awalnya Gegen bercita-cita untuk menjadi seorang aktor, tapi
karena menurutnya dia tidak punya wajah bak model ia mengurungkan cita-citanya
yang agung dan bertolak menjadi penulis. Padahal menurutku pria murah senyum
ini berparas manis dan tidak membosankan untuk dilihat. “Dulu pengen jadi
aktor, tapi nyadar, aku ini tidak ganteng,” ujarnya.
Selain menulis Gegen juga lihai memainkan gitar dan
bernyanyi. Ia juga berencana untuk terjun ke dunia musik dalam waktu dekat,
dalam CD yang dibagikan secara terbatas pada buku-bukunya berisi lagu-lagu
dengan Gegen sebagai pemain musiknya.
Suatu saat nanti aku akan bertandang ke Espresso Beach Cafe, memesan kopi paling pahit dan mengobrolkan kenangan termanis. Tapi usahlah kau menanti, karena aku tidak tahu pasti kapan itu terjadi, tapi yakin saja, aku pasti datang, meski tak kau harapkan. Salam rindu dari negeri nun di ujung Riau.
Ika, Payung, Linda, Genta, Muthi, Nafi (aku) dalam sesi wawancara bersama Genta di Pustaka Soeman HS Pekanbaru |
0 komentar: