Hari minggu, 3 Februari 2019. Tidak ada orang lain yang berdiri di sana selain kami, peserta Workshop Serikat Jurnalis untuk Keberagaman. Kami ditugaskan untuk meliput keberagaman melalui kacamata umat Katolik Gereja Karangpanas.
Beberapa saat kemudian kami dialihkan menuju Retret Panti Samadi Nasare. Berjalan kaki kami ke sana. Kontur Semarang yang berbukit dan menanjak cukup membuat peluh peserta bercucuran. Untung saja angkot oren dan kuning menyusul tak lama kemudian.
Di perjalanan menuju Retret, banyak pohon-pohon rindang menghalau panasnya sinar matahari. Pohon-pohon bambu di kiri dan kanan jalan juga menambah keasrian.
Dua patung tokoh pewayangan, Semar menyambut kami sebelum memasuki Retret. Tak hanya di luar, di dalam Retret sangat banyak tumbuhan-tumbuhan menjalar yang menghiasi koridor-koridor yang menghubungkan setiap bangunan. Tanaman-tanaman ditata sedemikian rupa menambah kesan hijau di Retret ini.
Seorang pria paruh baya berambut panjang sedada. Ia terlihat seperti Yesus hanya saja jika memiliki kumis dan jenggot. Ia juga mengenakan baju abu-abu batik dan sarung batik hitam bertuliskan huruf-huruf Jawa yang tak kupahami. Dia adalah seorang Romo, panggilan yang diberikan oleh umat Katolik di kepada para imam Katolik (pastor). Romo Budi Purnomo.
Kami diarahkan menuju ruang makan. Riuh suara dari dalam ruangan ketika kaki-kaki 26 mahasiswa ini memasuki ruangan. Jemaat gereja yang didominasi pria paruh baya ini sangat antusias melihat kedatangan kami yang mayoritas adalah muslim.
Belum sempat Romo Budi memperkenalkan kami, mereka mengajak swafoto beberapa peserta yang berhijab. Setelah Romo menenangkan jemaat, ia memberikan sambutan kemudian menerangkan secara ringkas tentang Gereja Katolik.
Romo membawa kami menuju ruangan lain, ia duduk di sebuah kursi kayu. Mendengar dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari mahasiswa pers kampus ini. Dengan suara yang lembut dan tegas, Romo menjawab pertanyaan mereka dengan cara bijaksana. Khas seorang Romo.
Romo memainkan saxsofon berwarna emas miliknya. Mengalun tembang lagu Tombo Ati untuk beberapa saat. Aku kagum dengan Romo, seorang katolik yang menghormati agama lain. Tombo Ati adalah lagu berisi pujian dari agama Islam.
Tak cukup sampai di situ, Romo melantunkan takbir persis seperti saat hari raya Idul Fitri atau Idul Adha. Aku sedikit sangsi jika dia beragama katolik.
Romo menceritakan kerukunan umat beragama di Semarang sangat baik. Hubungan-hubungan dengan pemuka-pemuka agama selalu dijaga. "Kami sering mengadakan kegiatan bersama, mengundang dan diundang," tuturnya.
Romo mengatakan jika generasi saat ini kurang memiliki toleransi dengan agama-agama lain. Ia berkisah saat dia masih remaja. Kerukunan beragama terjalin dengan baik. Bahkan Romo mengaku sempat ingin masuk Islam kala itu. "Dulu waktu saya masih muda, ketika sahur saya ikut membangunkan warga. Saya juga disuruh takbiran, sempat bilang ke orang tua kalau saya pengen masuk Islam karena di gereja tidak pernah disuruh solois, eh di lingkungan Islam saya disuruh takbiran," ucap Romo Budi sambil tertawa.
Menurut Romo Budi, agama adalah kepercayaan masing-masing. Ia tidak menyalahkan seseorang menganut agama apa. Semua adalah pilihan baik Islam maupun Kristen. Ia juga tidak menyalahkan jika seseorang berpindah agama. "Ya tidak ada salahnya, saya akan mendoakan yang terbaik untuk mereka," tuturnya.
Saat adzan dzuhur berkumandang Romo diam beberapa saat untuk menghormati adzan. Kemudian melanjutkan menjawab pertanyaan-pertanyaan.
Beberapa saat setelah adzan dzuhur, Romo harus memimpin misa di kapel. Ia pamit dan mengajak kami untuk datang ke kapel dan menyaksikan bagaimana ibadah misa umat Katolik.
Aku sedikit ragu untuk datang ke kapel. Adzan dzuhur baru berkumandang, tapi aku melangkahkan kaki ke kapel untuk melihat misa, sedangkan aku adalah muslim. Tapi aku tetap melangkahkan kaki ke kapel karena penasaran. Ini kali pertamaku ke tempat ibadah umat Katolik.
Romo berdiri di atas altar memakai gamis putih dengan sorban hijau yang di lehernya. Mungkin berlebihan jika aku menggunakan kata sorban. Ibadah berlangsung khidmat dan diakhiri dengan memberikan hosti kepada jemaat.
Hosti adakah roti sebagai simbol darah Yesus. Hanya jemaat yang boleh memakannya. Kami umat Islam tentu tidak bisa.
Usai misa, jemaat bersalaman dengan kami dan mengucapkan terimaksih. Kemudian kami diajak makan bersama oleh Romo dan para jemaat. Tapi kami membawa makanan kotak sendiri yang disediakan oleh hotel tempat kami menginap dan mengadakan acara. Mereka bersikeras untuk mengajak kami makan bersama meskipun ruang makan sudah penuh.
Aku mengambil beberapa makanan yang disediakan, segelas es, gorengan dan kerupuk. Setelah itu bersiap-siap untuk salat di masjid sebelum menuju kelenteng.
0 komentar: