coro jowo ne jembatan kenangan bareng konco2
Lebaran atau hari raya idul fitri adalah momen yang ditunggu-tunggu baik oleh orang tua, remaja bahkan anak-anak pun pasti menanti saat-saat itu. Apalagi bagi mereka yang jauh dari orang tua seperti saya misalnya.
Sebagai seorang mahasiswa yang tinggal dikota orang tentunya saya jauh dari orang tua. Ketika harum lebaran mulai tercium, meskipun itu masih setengah bulan lagi. Semua orang sudah sibuk bertanya-tanya kapan pulang kampung?
Sungguh hari yang sangat membahagiakan ketika idul fitri datang, semua keluarga dari jauh berkumpul bertahun-tahun tak berjumpa akhirnya dipertemukan dimomen yang sakral ini. Kebahagian-kebahagiaan itu rasanya terlalu indah untuk dinikmati sendiri. Yaah meskipun hanya sementara, karena pada dasarnya kebahagiaan hakiki itu adalah syurganya Allah.
Dikampung, seperti tempat saya tinggal selalu ada tradisi mbarak. Yaitu tradisi dimana semua anak-anak muda dihari pertama sampai paling lama hari ketiga, dari anak SD, SMP, SMA sampai mahasiswa semua bersama-sama bersilaturrahmi keliling kampung mengunjungi rumah dari ujung selatan hingga ujung utara tak terlewat satu rumahpun kecuali jika orangnya tidak ada. Menurut pendapat saya mbarak yang memang bahasa jawa itu berasal dari kata bara’an yang artinya seumuran, mungkin maksudnya adalah berkumpul bersama dengan teman-teman yang seumuran. Itu sih pendapat saya, nanti saya tanyakan ke yang lebih tua.
Kalau dipikir-pikir memang benar sih, karena mbarak dibedakan selain berdasarkan laki-laki dan perempuan juga berdasarkan dari tingkat sekolahan yang tiap tingkatnya dipimpin oleh seorang pemuda/i (mahasiswa / yang belum menikah). Sedangkan pemuda/i yang tidak kedapatan menjadi pemimpin juga tetap mbarak bersama dengan golongannya.
Berhasilnya program pemerintah KB (keluarga Berencana) membuat generasi muda semakin sedikit, jadi sekarang ini semua mulai menggabungkan diri bersama-sama yang lain biar lebih rame. Dari empat tingkatan yang saya jelaskan diatas tadi mulai terbagi menjadi dua, biasanya Pemuda/i bergabung dengan SMA, dan SMP bergabung dengan SD, tetapi seiring berjalannya waktu itu mulai tidak berlaku lagi. Suka-suka mereka mau ikut yang mana. Kalau saya sih lebih memilih ikut anak SD, biar nampak muda dan geraknya cepat.
Hal-hal seperti ini tidak akan bisa kalian temukan dikota.
Tempat-tinggal saya di kelurahan madani yang dulunya bergabung dengan kelurahan pulau kijang. Kampung kami ini juga berbatasan dengan daerah jambi. Sebenarnya lebih dekat ke jambi dari pada kepekanbaru, ya meskipun pelosok. Kami menyebutnya sebelah, sama dengan orang sana yang menyebut kami sebelah juga.
Ditanah kering gambut dan berdebu lantas tak menyurutkan langkah kami untuk tetap mbarak, meskipun rumah penduduk tangganya tinggi-tinggi dan membuat kami capeknya setengah mati. Tapi kebersamaan, keseruan, dan kekeluargaan mengalahkan segalanya. Tak peduli jembatan kenangan yang mengerikan jika dilihat tapi sebenarnya aman untuk dilalui, jembatan (titi) yang kecil yang mampu membuat anak kecil tak berani melewatinya, tak peduli rumah orang kaya, tak peduli rumah orang biasa, tak peduli baju baru yang kotor, kami tetap bergembira bersama.
Dulu ketika aku masih SD dan SMP,*ralat. Maksud saya MI dan MTS butuh waktu sampai 4 hari untuk menyelesaikan satu kampung, dulu masih jalan kaki atau naik sepeda dan kalau hujan jalannya becek, kalau air pasang banjir. Saya sangat bersyukur sekarang semuanya sudah banyak berubah, jika dulu butuh 4 hari sekarang dua hari saja cukup untuk menyelesaikan satu kampung, jalannya sudah disemen, sudah pakai motor dan tidak banjir. Alhamdulillah.
Sebagai anak gaul indonesia, saya juga tidak ketinggalan dengan yang namanya selfie. Disetiap tempat dengan setiap momen yang berbeda tak terlewatkan untuk selfie, sebelum pergi, saat pergi, sedang pergi, sampai sudah pergi, selfie tak pernah terlupakan. Sengaja kubeli tongsis khusus untuk lebaran tahun ini jauh-jauh dari pekanbaru. Biar lah dikata orang norak, asal tetap hepi-hepi. Hahaha.
0 komentar: