Angin sepoi-sepoi yang dalam sekejap berubah kencang menerpa wajah-wajah kami, canda tawa terus bergulir sepanjang perjalanan, menyanyikan sejuta lagu abstrak hingga tenggorokan kami terasa kering. Tiga jam perjalanan dari Pekanbaru yang membuat perutku mual memang melelahkan hingga membuatku tertidur, ketika aku terbangun jalan mendaki dihadapan kami, sebuah pohon besar di sisi kiri kami dan sungai Subayang di kanan kami, hari ini, 24 Desember 2015, aku bersama kawan-kawan LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Gagasan menaiki mobil pick up untuk melihat langsung indahnya pemandangan air terjun Batu Dinding,
Akhirnya kami sampai di rumah warga setempat di desa tanjung belit, di situ mobil kami di parkir, cukup membayar Rp. 3000 untuk parkir dan Rp. 5000 untuk memasuki tempat wisata. Perjalanan kami tidak berhenti sampai di situ, kami harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki kira-kira 45 menit, karena jalanan yang becek, curam dan berlumpur tidak mungkin bisa dilewati oleh kendaraan.
Seperti mendaki bukit yang sangat miring, yang mampu membuat lutut seperti mau copot, kemudian jalanan menurun dan licin juga membuat kami harus berhati-hati agar tidak terpeleset dan menggelinding kebawah. Baru sepuluh menit berlalu nafasku sudah ngos-ngosan dan jalanku mulai melambat, beberapa dari kami mencari tongkat sebagai penopang badan yang keletihan. Lalu jalanan kembali datar lagi, menanjak dan menurun, suara-suara kumbang terdengar seperti menyanyikan melodi alam yang mempesona, di bawah birunya langit Kampar dan hijaunya hutan dan diiringi percikan-percikan air yang mengalir di sela-sela bebatuan. Kami melewati beberapa jembatan kayu dan sungai kecil berbatu dengan air jernih yang mengalir pelan, ikan-ikan pun seakan menari-nari riang bersama alunan melodi alam.
Jalanan semakin sempit dan menanjak tetapi semakin mudah untuk dilalui, karena telah dipasang anak tangga dari semen berbentuk balok sehingga menanjak dan menurun tidak terlalu berat bagi kami. Kami memilih jalan yang langsung menuju air terjun yang paling tinggi di situ, sayup-sayup terdengar gemericik air yang jatuh dari ketinggian, semangat kami kembali terpompa untuk segera mencapai air terjun yang memanggil-manggil kami.
Meluncur indah diantara bebatuan setinggi 10 meter, dengan gayanya yang anggun dan mempesona seolah mengatakan bahwa ialah yang tercantik disini, air terjun Batu Dinding, kami telah sampai dan menjawab rayuanmu. Belum sempat aku melepas tas di punggung ku, Toni, salah seorang temanku langsung menceburkan diri ke air dan berenang mendekati air yang turun dari atas. Air terjun ini kembali menggoda kami, seolah-olah mengedipkan mata dan menawarkan kesejukan atau lebih tepatnya dinginnya air di hari yang panas ini. Tanpa pikir panjang aku pun langsung menyusulnya.
Brrrrr dingin dan menyejukkan hati, air terjun yang memiliki dedalaman 4 meter dengan keliling kolam 7,3 meter ini menawarkan pesona yang mampu menghilangkan letihnya perjalanan panjang dengan berjalan kaki sejauh 1 km dari desa terdekat, meski tak bisa berenang berendampun sudah lebih dari cukup untuk melepaskan penat ku. Semua kelelahan, keletihan, dan perjuangan untuk sampai disini dibayar lunas oleh senyuman dan rayuan maut air terjun batu dinding.
Matahari semakin naik dan orang-orang pun ramai berdatangan ke tempat ini karena hari ini memang hari libur, wisatawan datang untuk menceburkan diri atau sekedar membasahi kaki dengan air dan berfoto. Setelah makan kami kembali menceburkan diri ke air untuk yang terakhir kalinya. Kami pun meninggalkan air terjun batu dinding dengan perasaan yang tak dapat dikatakan.
Diperjalanan pulang kami melewati jalan lain yang akan mempertemukan kami dengan air terjun yang lain, setidaknya ada dua air terjun, meskipun tak setinggi air terjun yang tadi, lalu jalan kembali menurun dan semakin sempit dan licin dan kami kembali bertemu dengan air terjun yang ke tiga, yang lebih sering di sebut dengan Air Selancar, disini tidak terlalu ramai, hanya kami serombongan yang ada disini, bebatuan yang besar membuat kami mudah untuk bermain di air terjun yang satu ini dengan kemiringan kurang dari 45 drajat membuat kami mudah memanjat keatas, dan berbaring merasakan air yang mengalir melewati kepala hingga ujung-ujung jari. Dingin dan menyegarkan hanya ada kami tak ada yang lain. Sungguh indahnya kebersamaan. Setelah puas bermain dan berfoto akhirnya kami memutuskan untuk pulang kembali menuruni jalan licin dan terjal serta sempit.
Kembali kami pulang menaiki mobil pick up yang melaju kencang, membuat kami terhuyung-huyung diatas mobil, dan gelak tawa pun pecah menertawakan kebodohan kami di air terjun tadi, kami yang tak bisa berenang, kami yang tenggelam, kami yang meluncur bebas dan kami yang gila-gilaan. Kembali pulang dengan alunan lagu abstrak disepanjang perjalanan.
0 komentar: