24-26 Maret 2016
Ingin ku ceritakan padamu kawan, suatu kisah manis di antara yang paling manis dalam hidupku yang belum panjang ini. Suatu masa dimana aku begitu bahagia dan tak ingin melupakannya, suatu masa dimana aku berdiri di tanah ribuan meter di atas permukaan laut katanya. Suatu masa di mana aku ingin waktu berulang kembali sekali lagi.
Kisah manis yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya, adalah hal dimana sulit untukku mengatakannya dengan pasti, suatu hal yang selalu kuingkari bahwa aku benar-benar menyukainya.
***
Malam yang dingin bertabur jutaan bintang menemani malamku di atas tanah kering berumput di cadas Marapi, urung aku masuk ke dalam tenda meski kaki-kaki ini bergetar menahan ngilu akibat perjalanan delapan jam siang tadi. Semakin lama aku duduk di situ semakin malam memelukku dengan erat. Menggigil dan sesak pipis aku dibuatnya, kulepaskan pelukan malam dengan enggan dan melangkahkan kakiku menuju tenda yang letaknya persis di atas tempatku duduk saat ini.
Kisah manis yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya, adalah hal dimana sulit untukku mengatakannya dengan pasti, suatu hal yang selalu kuingkari bahwa aku benar-benar menyukainya.
***
Malam yang dingin bertabur jutaan bintang menemani malamku di atas tanah kering berumput di cadas Marapi, urung aku masuk ke dalam tenda meski kaki-kaki ini bergetar menahan ngilu akibat perjalanan delapan jam siang tadi. Semakin lama aku duduk di situ semakin malam memelukku dengan erat. Menggigil dan sesak pipis aku dibuatnya, kulepaskan pelukan malam dengan enggan dan melangkahkan kakiku menuju tenda yang letaknya persis di atas tempatku duduk saat ini.
Kulihat di dalam tenda telah penuh dengan orang-orang yang sama lelahnya dengan ku, menyisakan tempat tanpa matras yang cukup untu dua orang. Aku dan temanku masuk dan aku tertidur di depan pintu tenda. Tidur tanpa alas, bukan! tidur beralaskan batu-batu kecil yang tertutup alas tenda. Maafkan aku teman, saat itu aku benar-benar mengutuk kalian yang tidur duluan, kalian pakai sleeping bag (SB) dan matras, sedangkan kami, SB pun kami bagi dua.
Subuh buta, aku terbangun karena teriakan dari guide kami. “Siapa yang ingin muncak siap-siap, bawa barang seperlunya,”katanya. Aku pun bersiap untuk melanjutkan perjalanan ke puncak Marapi yang katanya butuh waktu satu jam, tas ransel berisi air dan makanan ringan tak lupa ku keluarkan senter karena hari masih gelap, tak pula kulihat jam di handphone ku. Mungkin itu sekitar pukul empat dini hari.
Kaki-kaki yang kelelahan kupaksa untuk berjalan melalui jalan-jalan curam yang berbatu. Jika tak berhati-hati memilih batu untuk berpegang, alamatlah tergelincir ke bawah. Tak ingin kubayangkan sejauh itu, untung saja hari gelap sehingga aku tidak terlalu melihat apa yang di belakangku.
Kulihat seseorang menunggu di sebuah batu besar di belokan kecil, mengawasi langkah-langkah pendaki perempuan yang melaluinya. “Guide,”pikirku.
Sepanjang aku mengingat, ia mengulurkan tangan padaku, namun aku menolaknya. Lalu ia memimpin perjalanan kami. Kala hampir mencapai tanah lapang, ia yang ada di depanku membuatku penasaran. Rasa-rasanya tak pernah aku melihat dia sebelum subuh ini, ingin ku melihat wajahnya, namun ketika ia mengarahkan senter ke jalan kami, cahayanya menyilaukan sehingga aku tidak bisa mengawasi wajahnya dengan baik. Dan aku masih penasaran.
Jalan yang kami lalui semakin mudah untuk dilewati, beberapa di antara rombongan terpisah. Ada yang berjalan duluan berburu sunset, ada yang berfoto-foto di tugu…. Tinggalah kami berempat, aku, Karsini, Bang Hafiz, dan Guide yang masih misterius. Ia berkata, kalau ingin melihat sunset, kita harus cepat, tadi kita telat berangkat. Dan benar saja kami sudah telat berada di tanah datar berpasir yang sangat luas. Ia berteriak memanggil temannya nun di seberang lapangan sana, meski hanya siluetnya yang terlihat.
Setelah melewati tanah lapang tadi, kami menuju bukit-bukit berbatu yang tidak ada tanamannya sama sekali, kabut asap subuh ditambah dinginnya pagi membuat nafas berasap itu semakin membuatku merasa seperti berada di bulan, meskipun aku tak pernah ke bulan, tapi anggap saja begitu.
Nur Alfarisi, ku ketahui namanya tentu saja setelah kita berkenalan, wajahnya tentu saja sudah terlihat dan menghilangkan rasa penasaranku. Sepanjang perjalanan ke puncak, dari sekian banyak guide, dari sekian banyak peserta rombongan, dialah yang bersama kami. Jika kau Tanya pada ku kawan, apakah dia tampan. Jawabannya Tidak. Dia tidak tampan, ya sama saja seperti yang lain.
Tapi tahukah kau kawan, sepanjang ia bersama kami, ada satu hal aneh yang kulihat. Entah mengapa semakin matahari naik dari haribaannya semakin ia terlihat menawan, semakin tampan, dan semakin aku menyukainya.
Jika banyak orang sesalkan rasa lelah dan letih di suatu pendakian, maka aku menganggapnya seperti sebuah anugerah dari Tuhan. Mendaki tidak lah sulit, tap perjalanan turun membuat rasa sakit ini semakin terasakan.
Lambatnya aku berjalan membuatku tertinggal di antara yang lain. Padahal ketika mereka lambat dalam mendaki, aku selalu menunggu dan bersabar. Dasar penghianat!
Setelah menikmati indahnya ketinggian Marapi, bunga Edelwis yang mempesona, serta negeri di atas awan yang sangat indah dan menikmati makanan ringan yang kami bawa, akhirnya tibalah saatnya ucapkan salam perpisahan manis. Kalau kau pergi dengan menanjak, maka kau akan pulang dengan menurun.
Dalam perjalanan pulang, kami berenam, ketika sampai cadas tinggal berempat, ketika menyusuri cadas tinggal kami berdua, aku dan Alfa. Terik matahari pagi itu, menambah jelas pemandangan di bawah kami, sangat menyeramkan, jika tidak berhati-hati, aku benar-benar membayangkan diriku jatuh menggelinding ke bawah, ditambah jaketku yang berwarna putih sudah dipastikan orang hanya mengira itu adalah karung yang digelindingkan dari atas.
Semperempat perjalanan, kulalui dengan selamat. Paham dengan kegelisahanku Alfa mengulurkan tangannya dan menggandengku hingga ke bawah, beberapa kali kami hampir tergelincir. Jujur aku senang, senang sekali. Tapi aku tak tahu apa yang dipikirkannya saat itu, mungkin ia menganggapku beban. Tapi sebagai peserta, aku hanya berpikir itu sudah menjadi tanggung jawabnya.
Sesampai di camp kemah, kami berpisah ia memberiku air untuk minum. Lalu dia kembali ke tendanya tidur kelelahan.
Seminggu setelah pendakian berlalu, biasa saja. Sebulan kemudian aku merasakan rindu, rindu tentang dia. Jangan begitu kawan, ini bukan pengakuan. Tapi sebuah kisah yang tak ingin kulupakan. Benar bahwa aku menyukainya bahkan berbulan-bulan setelah pendakian itu berlalu, dimana aku mendaki tak pernah kulupa pendakian pertamaku. Oh Tuhan, mungkin ini yang namanya Baper.
Lalu kenapa aku tak dekati dia, gengsi itu jawabnya. Hahaha mamaku pernah bilang, “Jangan memaksakan diri untuk dicintai, jangan menjadi budak cinta.” Biarlah perasaan ini aku yang tahu, kalau seandainya nanti dia baca tulisan ini maka aku masih mengingatnya dan masih menyukainya.
Manusia tempat salah dan lupa, sangat disayangkan jika aku melupakan kisah manis ini. pengalaman mungkin tak terlupakan, namun aku ingin kisah ini diikat agar tak bercampur dengan imajinasiku.
Subuh buta, aku terbangun karena teriakan dari guide kami. “Siapa yang ingin muncak siap-siap, bawa barang seperlunya,”katanya. Aku pun bersiap untuk melanjutkan perjalanan ke puncak Marapi yang katanya butuh waktu satu jam, tas ransel berisi air dan makanan ringan tak lupa ku keluarkan senter karena hari masih gelap, tak pula kulihat jam di handphone ku. Mungkin itu sekitar pukul empat dini hari.
Kaki-kaki yang kelelahan kupaksa untuk berjalan melalui jalan-jalan curam yang berbatu. Jika tak berhati-hati memilih batu untuk berpegang, alamatlah tergelincir ke bawah. Tak ingin kubayangkan sejauh itu, untung saja hari gelap sehingga aku tidak terlalu melihat apa yang di belakangku.
Kulihat seseorang menunggu di sebuah batu besar di belokan kecil, mengawasi langkah-langkah pendaki perempuan yang melaluinya. “Guide,”pikirku.
Sepanjang aku mengingat, ia mengulurkan tangan padaku, namun aku menolaknya. Lalu ia memimpin perjalanan kami. Kala hampir mencapai tanah lapang, ia yang ada di depanku membuatku penasaran. Rasa-rasanya tak pernah aku melihat dia sebelum subuh ini, ingin ku melihat wajahnya, namun ketika ia mengarahkan senter ke jalan kami, cahayanya menyilaukan sehingga aku tidak bisa mengawasi wajahnya dengan baik. Dan aku masih penasaran.
Jalan yang kami lalui semakin mudah untuk dilewati, beberapa di antara rombongan terpisah. Ada yang berjalan duluan berburu sunset, ada yang berfoto-foto di tugu…. Tinggalah kami berempat, aku, Karsini, Bang Hafiz, dan Guide yang masih misterius. Ia berkata, kalau ingin melihat sunset, kita harus cepat, tadi kita telat berangkat. Dan benar saja kami sudah telat berada di tanah datar berpasir yang sangat luas. Ia berteriak memanggil temannya nun di seberang lapangan sana, meski hanya siluetnya yang terlihat.
Setelah melewati tanah lapang tadi, kami menuju bukit-bukit berbatu yang tidak ada tanamannya sama sekali, kabut asap subuh ditambah dinginnya pagi membuat nafas berasap itu semakin membuatku merasa seperti berada di bulan, meskipun aku tak pernah ke bulan, tapi anggap saja begitu.
Nur Alfarisi, ku ketahui namanya tentu saja setelah kita berkenalan, wajahnya tentu saja sudah terlihat dan menghilangkan rasa penasaranku. Sepanjang perjalanan ke puncak, dari sekian banyak guide, dari sekian banyak peserta rombongan, dialah yang bersama kami. Jika kau Tanya pada ku kawan, apakah dia tampan. Jawabannya Tidak. Dia tidak tampan, ya sama saja seperti yang lain.
Tapi tahukah kau kawan, sepanjang ia bersama kami, ada satu hal aneh yang kulihat. Entah mengapa semakin matahari naik dari haribaannya semakin ia terlihat menawan, semakin tampan, dan semakin aku menyukainya.
Jika banyak orang sesalkan rasa lelah dan letih di suatu pendakian, maka aku menganggapnya seperti sebuah anugerah dari Tuhan. Mendaki tidak lah sulit, tap perjalanan turun membuat rasa sakit ini semakin terasakan.
Lambatnya aku berjalan membuatku tertinggal di antara yang lain. Padahal ketika mereka lambat dalam mendaki, aku selalu menunggu dan bersabar. Dasar penghianat!
Setelah menikmati indahnya ketinggian Marapi, bunga Edelwis yang mempesona, serta negeri di atas awan yang sangat indah dan menikmati makanan ringan yang kami bawa, akhirnya tibalah saatnya ucapkan salam perpisahan manis. Kalau kau pergi dengan menanjak, maka kau akan pulang dengan menurun.
Dalam perjalanan pulang, kami berenam, ketika sampai cadas tinggal berempat, ketika menyusuri cadas tinggal kami berdua, aku dan Alfa. Terik matahari pagi itu, menambah jelas pemandangan di bawah kami, sangat menyeramkan, jika tidak berhati-hati, aku benar-benar membayangkan diriku jatuh menggelinding ke bawah, ditambah jaketku yang berwarna putih sudah dipastikan orang hanya mengira itu adalah karung yang digelindingkan dari atas.
Semperempat perjalanan, kulalui dengan selamat. Paham dengan kegelisahanku Alfa mengulurkan tangannya dan menggandengku hingga ke bawah, beberapa kali kami hampir tergelincir. Jujur aku senang, senang sekali. Tapi aku tak tahu apa yang dipikirkannya saat itu, mungkin ia menganggapku beban. Tapi sebagai peserta, aku hanya berpikir itu sudah menjadi tanggung jawabnya.
Sesampai di camp kemah, kami berpisah ia memberiku air untuk minum. Lalu dia kembali ke tendanya tidur kelelahan.
Seminggu setelah pendakian berlalu, biasa saja. Sebulan kemudian aku merasakan rindu, rindu tentang dia. Jangan begitu kawan, ini bukan pengakuan. Tapi sebuah kisah yang tak ingin kulupakan. Benar bahwa aku menyukainya bahkan berbulan-bulan setelah pendakian itu berlalu, dimana aku mendaki tak pernah kulupa pendakian pertamaku. Oh Tuhan, mungkin ini yang namanya Baper.
Lalu kenapa aku tak dekati dia, gengsi itu jawabnya. Hahaha mamaku pernah bilang, “Jangan memaksakan diri untuk dicintai, jangan menjadi budak cinta.” Biarlah perasaan ini aku yang tahu, kalau seandainya nanti dia baca tulisan ini maka aku masih mengingatnya dan masih menyukainya.
Manusia tempat salah dan lupa, sangat disayangkan jika aku melupakan kisah manis ini. pengalaman mungkin tak terlupakan, namun aku ingin kisah ini diikat agar tak bercampur dengan imajinasiku.
0 komentar: