“Buk ngopi Buk.”
“Iya Pak,” sahutku. Aku merapatkan jaket tebalku agar angin malam tak terlalu menusuk tulangku. Kami membuat api unggun kecil bersama-sama yang sejak sore tadi kami kumpulkan.
Butuh waktu lama untuk menghangatkan air demi membuat kopi, segera setelah air panas, kami langsung menuangkannya ke dalam gelas yang telah diisi kopi.
“Ahhh, hangat,” ucapku. Cepat-cepat aku habiskan kopiku karena beberapa menit lagi kopi itu pasti akan menjadi dingin.
***
Sofiah, temanku yang aku kenal beberapa bulan yang lalu ketika kami Pelatihan di Lampung, ironis memang, meski sama-sama dari Riau tapi kami dipertemukan di ujung Sumatera. Dia kuliah di Universitas Islam Riau (UIR), biar lebih keren dia menyebutnya UI Riau. Beberapa minggu sebelumnya dia memberitahu melalui Blackberry Messenger (BBM), agar aku bersiap-siap untuk ikut dia mendaki tanggal 16 Januari ketika libur semester ganjil. Dengan santai aku menjawab aku ikut kalau uangku terkumpul ya. Aku menjawab dengan santai, dalam hati aku berpikir pasti ujung-ujung dari ajakan ini tidak jadi.Hari terakhir ujian semester lima, aku dikejutkan dengan dering hp yang memang jarang sekali berbunyi. Nomor tak dikenal menghiasi layar hpku, tanpa pikir panjang aku pun mengangkatnya.
“Hallo, assalamualaikum,”
“dimana fi? Jadi ikut kan? Besok kita ke Sumbar, tapi gak jadi ke Singgalang jadinya ke Marapi,” kata suar di seberang hp, yang kutau itu adalah Sofi.
“jadi pergi? Besok? Tapi kan besok masih tanggal 15, aku belum siapkan revisi tugas ku lho,”
“Iya besok kita dari Pekanbaru, senin kita nanjak. Siapkan lah lagi tugasmu,”
“aku gak ada siap-siap do,”
“aman tu, biar kami yang siapkan. Ada aku teman sekosku sama satu anak Fikom,”
“Ok,” kataku menutup telpon.
Ternyata Sofi benar-benar serius tentang ajakannya beberapa minggu silam, cepat-cepat aku menyelesaikan tugasku agar bisa ikut nanjak ke Marapi. Eitts, tunggu dulu. Marapi? Teringat percakapanku dengan seorang leader di pendakian pertamaku di Marapi. Aku tersenyum sendiri mengingat betapa bodohnya diriku sekarang. Aku mengambil laptop menyelesaikan tugas dan segera mengirimkannya ke salah seorang temanku agar ia yang mengumpulkannya ke dosen.
Salah satu alasanku ingin pergi menanjak lagi adalah, begitu banyak rencana yang aku buat bersama teman-teman satu kelasku jika ujian telah usai. Ujian memang sudah selesai tapi tugas masih terus membayangiku seolah-olah tak mengizinkanku lepas dari semester lima. Alih-alih lega setelah UAS kami disibukkan dengan tugas akhir yang menggunung, itulah yang membuat kami lupa tentang rencana-rencana relaksasi yang jauh-jauh hari kami rencanakan. Dari makan di Waroeng Steak, nonton bioskop, liburan ke Solok. Semuanya gagal, setelah selesai semuanya teman-temanku lebih memilih pulang kampung dari pada menjalankan rencana indah ini. Akhirnya aku memilih mengaminkan ajakan Sofi.
***
“kenalan dulu lah ya kita, ni Nafi, kawanku anak Gagasan, UIN” kata Sofi mengenalkan ku pada kedua temannya. “Fi ni Fitra, ini Laras,” tambahnya.“Nafi,” balasku sambil tersenyum.
Pagi sebelum keberangkatan kami memutuskan untuk mengisi perut terlebih dahulu. Mereka menyuruhku bersiap-siap sejak pagi, bahkan sebelum sarapan bersama aku sudah sarapan duluan di kos. Hingga akhirnya aku tertidur duluan sampai jam sepuluh pagi, hingga akhirnya mereka datang dan mengajak sarapan lagi. Menyebalkan. Dari pada nolak, kan gak enak wkwkwk.
Akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju Sumatera Barat dengan Sepeda Motor, Fitra dengan Sofi dan aku dengan Laras. Yup kami memang Cuma berempat. Fitra sebagai satu-satunya laki-laki diantara kami, maka ia membawa beban yang paling berat, Sofi dan Carrier. (maaf ya Sof).
Berbekal GPS Sofi dan Fitra terus melaju ketika sampai di Sumbar, aku dan Laras hanya mengikuti mereka dari belakang. Menurut rencana kami, kami akan tiba di pos 1 sebelum matahari terbenam dan mendirikan tenda di area itu sebelum paginya mendaki. Tapi manusia hanya bisa berencana hasilnya Tuhan yang menentukan, arah yang ditunjukkan oleh GPS mengarahkan kami jalur pendakian yang lain, bukan jalur biasanya. arah itu memang ada tetapi tidak banyak yang melalui jalur itu atau bisa terbilang sepi bahkan katanya pos ditutup.
Hingga akhirnya, setelah bertanya kesana kesini tak menemukan jalan,kami memutuskan untuk kembali ke Padang Panjang dan menginap di hotel. (waw)
***
Kami masuk melalui jalur yang biasa dilalui oleh pendaki, lewat pasar Bukittinggi kemudian berbelok ke arah yang aku lupa nama jalannya hingga kami sampai di pos satu. Di situ kami menitipkan motor dan helm dan beberapa barang bawaan yang sekiranya tidak kami perlukan ketika digunung. (aku benar-benar menyesal telah menitipkan barangku di sini).“hosh...hosh...” napas Sofi terengah-engah ketika kami baru mulai pendakian.
Jalanan masih semen belum mencapai tanah tapi ini benar-benar melelahkan, aku kasihan melihat Sofi, ini kali pertamanya ia mendaki. Sedangkan Laras dan Fitra, menurutku mereka sudah terbiasa mendaki. Tak jauh berbeda dengan Sofi aku juga mengalami kelelahan karena dulu barang bawaan dibawakan sedangkan sekarang harus membawa sendiri, meskipun tidak separah Sofi (hahaha), tapi aku paling banyak menghabiskan stok air minum. (yang ini aku benar-benar minta maaf, kalo aku dehidrasi bisa fatal akibatnya).
"pak... Buk... Naik pak? Semangat bu! " sapa para pendaki yang turun dari gunung.
Bukan hal asing bila para pendaki saling menyapa baik ketika turun ataupun naik. Seolah-olah sudah menjadi kebiasaan dan bukti keramahtamahan para pendaki. Tak heran bila ada yang mengatakan bahwa mendaki mengajarkan bagaimana bersosialisasi dan beramah tamah. Di Marapi sapaan Bapak dan Ibu adalah sapaan yang lumrah digunakan para pendaki baik tua maupun muda, anak-anak maupun dewasa semua dipanggil sama, tergantung gender hehehe.
Dengan susah payah menanjak, memanjat dan melompat, akhirnya kami tiba di cadas. Kami memutuskan untuk berhenti dan beristirahat di warung kosong. Wajar apabila tidak ada yang berjualan karena biasanya pedagang berjualan di hari libur seperti hari minggu atau tanggal merah.
"alhamdulillah, akhirnya nyampe juga di cadas, " ujarku sambil tiduran di salah satu dudukan warung yang memanjang.
Warung yang merupakan satu-satunya warung di cadas ini hanyalah bangunan yang dibuat seadanya dengan menggunakan atap terpal dan kayu-kayu sederhana dan terbuka, biasanya menjual gorengan, itu yang aku tahu.
Beberapa saat kemudian Sofi dan Laras menyusul aku dan Fitra yang sudah sampai duluan. Tanpa pikir panjang mereka langsung membaringkan tubuh mereka di dudukan satunya. Tak lama kemudian aku merasa diriku sudah berada di alam lain. Yup... Aku tertidur saking kelelahannya.
Sebelum kami tiba di pondokan tersebut ternyata sudah ada pendaki lain yang beristirahat di sana. Fitra mengajak mereka mengobrol santai, ternyata ketiga pendaki itu juga berasal dari Pekanbaru bahkan mereka dari kampus yang sama dengan ke tiga rekanku, UIR.
"kami duluan ya Pak, " ujar pria berambut panjang kepada Fitra.
"Iya Pak, "
"Fit kita pasang tenda di mana?" tanyaku
"terserah"
"di sini ajalah," kata sofi menimpali.
"Jangan di sini lah, kita cari tetangga biar enak nanti, " kataku mengingat kami hanya punya satu laki-laki di antara kami.
"ya udah gimana kalo dekat sama abang yang tadi? Aku sih terserah kalian" tanya Fitra
"bolehlah terserah, "
Fitra kembali memimpin perjalanan kami yang terhenti cukup lama. Dia berjalan sangat cepat dan kembali meninggalkan kami bertiga, aku duduk di bebatuan karena sudah sangat kelelahan. Yang ku tahu dia sudah menemukan tempat tak jauh dari tiga mahasiswa UIR tadi dan segera ia mendirikan tenda.
Setelah selesai kudengar salah seorang dari tetangga di bawah kami mengajak Fitra untuk mencari air. Aku tak tahu di mana mereka mengambil air karena Fitra juga tidak ada mengajak kami dan aku juga tidak akan pergi meskipun diajak.
Sekitar pukul lima kami menjamak salat dzuhur dan asar, aku dan Sofi mencari kayu-kayu kering untuk dibakar, kami tidak membawa kompor. Hal ini membuat kami menyesal karena sangat sulit menyalakan api tanpa bantuan minyak ditambah angin yang bertiup dari berbagai arah.
Menurut ku Sofi adalah pejuang tangguh, ia bersusah payah menghidupkan api yang sedari tadi tak kunjung hidup. Aku pun membantu mencarikan daun-daun kering yang mudah terbakar. Tak terhitung berapa banyak lembar tisu yang dibakar Sofi, tapi api hanya bertahan sebentar lalu padam. Padahal kami ingin membuat susu panas untuk Laras yang sedang tidak enak badan, juga untuk Fitra yang pasti lelah karena membawa beban paling berat, terspesial untuk aku dan Sofi yang memang sedang kepengen minum susu. Tapi sayang sampai Fitra datang dan Laras bangunpun api tak kunjung hidup.
"minum air hangat buk,? " tawar tetangga kami.
"makasih pak, kami sedang proses"
"gak bawa kompor buk? "
"kami mau menyatu dengan alam pak" jawabku beralasan.
Setelah sekian lama api tak kunjung hidup, abang berambut panjang datang membawa kompor kepada kami, mungkin dia kasian sama ibu-ibu yang berjuang hidup-hidupan demi api.
Dari ke tiga abang tetsebut kami memberi mereka nama sesuai dengan ciri khad mereka. Abang baik hati yang berambut panjang kami sebut Abang Cantik, karena rambutnya terlihat cantik dan kalau dilihat lama-lama abang tu memang cantik, abang satunya belakangan kami panggil Abang Ganteng, ya memang ganteng apalagi kalau dilihat lama-lama. Kalau yang satunya Abang Mapala, kata Sofi dia sering terlihat di sekre mapala yang dekat dengan sekrenya, LPM aklamasi.
Setelah makan malam Fitra yang kurus tinggi meringkuk kedinginan di dalam tenda. Kasihan dia jaket ungu kesayangannya tak cukup tebal menahan terpaan dinginnya malam. Sementara Sofi masih berjuang menghidupkan api. Poor Us.
Lelah dengan aktivitas sia-sianya akhirnya Sofi bergabung denganku menikmati kebesaran Tuhan yang menakjubkan, meski langit hanya menunjukkan sedikit bintangnya, tetapi awan enggan bergerak sehingga kami menikmati panorama singgalang di malam hari meski hanya siluetnya saja, lampu-lampu penduduk di bawah gunung juga terlihat bak bintang yang dipindahkan dari langit ke bawah. Ooh pantas saja langit sepi bintang ternyata begitu...
"fotoin Fi, " kata Sofi membuyarkan lamunanku
Cekrek cekrek... Tiba-tiba Laras keluar dari tenda dan ikut berfoto bersama kami. Aku bersyukur ia sudah terlihat lebih baik daripada tadi, meski setelah itu ia kembali masukbke dalam tenda.
"Buk Ngopi Buk, " abang cantik sudah ada di dekat tenda kami.
Sebelumnya abang cantik bertanya, apakah kami punya kayi bakar yang cukup, dari atas tentu saja kami punya tapi tak berguna. Dengan menggunakan kekuatan bulan... Oops jadi keinget Sailor Moon. Maksudnya memakai gas, abang cantik dengan mudah menyalakan api di kayu-kayu yang tak mau dibakar Sofi. Ternyata abang cantik juga membawa kompor gas kecil yang sore tadi dipinjamkan ke kami. Akhirnya kamipun bisa menikmati indahnya malam bersama kopi yang hangat. Tak lupa kami membangunkan Fitra dan Laras meski yang keluar cuma Fitra.
Fitra sangat pandai bercerita, aku Fitra, Sofi dan abang cantik bercengkerama menghabiskan sisa-sisa malam sampai aku dan Sofi beranjak karena sudah mengantuk. Aku tak tau kapan Fitra dan abang cantik meninggalkan kami, Fitra bilang dia akan tidur di tenda abang cantik. ketika aku terbangun tengah malam suasana sudah sepi, yang aku rasakan kaki-kaki di samping kanan dan kiriku menggigil kedinginan, aku benar-benar merindukan kasur.
***
"kalian mau ke Puncak tak, bentar lagi kita pergi ni, " suara Fitra membangunkanku dari tidur yang tidak nyenyak.Segera aku terbangun dan keluar tenda, kudapati waktu menunjukkan hampir pukul setengah empat subuh. Aku dan Sofi memutuskan untuk ikut naik ke Puncak Marapi dan menyaksikan sunrise yang konon katanya sangat indah. Laras lebih memilih menjaga tenda daripada ikut. "aku dah sering nengok" tuturnya.
Sebelum pergi kami bergabung dengan tenda tetangga kami. Abang cantik yang baik hati tengah memanaskan air untuk membuat kopi tak lupa ia menawarkanku kopi.
"ibu mau kopi hitam atau kopi sponsor? "
"kopi sponsor"
Sebelum naik penjaga pos memberikan setiap pendaki kopi Tora Bika dan berpesan untuk membawa turun dan memberikan bungkusnya lagi kepadanya. Mungkin itu yang membuat abang cantik menyebutnya kopi sponsor.
Sayangnya abang cantik dan abang mapala tidak berniat untuk melihat sunrise bersama kami, alasannya sama dengan Laras. Jadi hanya abang ganteng lah yang ikut naik ke Puncak, katanya ini kali pertamanya mendaki Marapi. Sedangkan Fitra, kurasa dia sebenarnya enggan naik ke Puncak, tapi mungkin ia kasihan dengan kami yang dari kemarin ngebet ingin ke Puncak. Meskipun ini bukan yang pertama bagiku tapi aku sudah lupa jalan ke sana, hanya Fitra yang tau.
Pukul empat kurang sepuluh, itu waktu yang kuingat. Kami mulai lagi pendakian, di cadas yang terjal, kami harus berhati-hati agar tidak menginjak dan berpegang pada batu yang salah. Jika tidak pasti kami akan tergelincir ke bawah. Aku tak mau membayangkan apa jadinya aku kalau sampai itu terjadi, bisa-bisa ada tugu baru di samping tugu Abel, beruntung kami tidak membawa beban berat, hanya tas berisi air minum dan sedikit makanan. Tentu saja Fitra yang membawanya. Poor Fitra.
Gelapnya subuh dan keringat yang dihembus angin pagi membuat gigi kami bergemelutuk, mengantarkan kami di sebuah lapangan luas bak lapangan sepak bola, kami berjalan santai melewati tanah yang landai dengan butiran pasir berwarna abu-abu. Bongkahan-bongkahan batu berserakan dimana-mana, sempat kulihat batu-batu yang disusun membentuk sebuah nama, tak hanya satu tapi cukup banyak. Mungkin itu kreativitas para pendaki.
Kami terus berjalan menuju bukit di seberang lapangan, bukit-bukit itu juga berbatu-batu, tidak ada satu tumbuhanpun sejauh mata memandang hanya pasir dan batu. Puncak Merpati, itulah tujuan kami.Tempat tertinggi di Marapi.
Sesampainya di sana kami bertemu dengan pendaki lain yang juga ingin menikmati sunrise. Ketika kami sampai di atas terdengar adzan subuh berkumandang dari desa di kaki gunung. Segera kami menunaikan salat subuh di Puncak, kubentamg sajadah yang dibawa Fitra, bertayamum dan salat bergantian di atas sana. Perlu kau ingat kawan, mengagumi kebesaran Tuhan bukan berarti kau harus meninggalkan kewajibanmu kepada Nya. Puncak Merpati tidak terlalu luas sehingga kami harus lebih berhati-hati agar tidak terpeleset.
Dari arah matahari terbit terlihat bukit berwarna hijau yang pasti itu adalah taman Edelwis, tempat hidup bunga abadi. Melihat ke arah Tenggara Danau Singkarak memantulkan langit pagi memanjakan mata kami, gunung-gunung tinggi seperti Singgalang dan Tandikek berdiri dengan gagah meremehkan kami. Melihat ke bawah, rumah-rumah, ladang-ladang penduduk membuatku menyadari, betapa kecilnya kami.
Sayang sekali yang ditunggu-tunggu muncul malu-malu dan bersembunyi di balik awan yang bergerak perlahan, entah apa dosaku hingga mentari terbit dengan enggannya meskipun kami sudah menunggu sedari subuh.
Matahari mulai beranjak naik, Fitra yang telah selesai memotret semua yang diinginkan memutuskan untu turun terlebih dahulu. Sedangkan aku, Sofi dan abang ganteng masih berfoto ria juga menyampaikan salam untuk teman-teman kami, dengan kertas yang ditulis dengan spidol.
Sofi punya banyak amunisi untuk kealayan makhluk abad 21 ini. Aku bersyukur karena itu berarti aku bisa memintanya. Setelah itu kertas-kertas tadi difoto dan cekrek... Tak cukup satu mungkin seribu.
Setelah puas berfoto kami langsung turun ke cadas, entah mengapa kami mengurungkan niat untuk pergi ke taman Edelwis. Tapi kami menyempatkan diri berfoto di Tugu Abel sebelum turun.
Tak perlu kuceritakan kisah memalukan ku saat turun. Singkatnya, aku sangat bersemangat ketika naik tapi aku seperti kehilangan separuh kehidupanku saat turun. Satu hal kuceritakan padamu kawan, aku rindu ketika turun melalui cadas ini bersama seseorang di pendakian pertamaku, kisah manis yang tak ingin kulupakan seumur hidupku. (alay? Biarlah! Ini ceritaku, bukan ceritamu!).
Lelah menuruni cadas yang curam, kami sampai di tenda masing-masing, bapak-bapak tetangga kami mengajak masak dan makan bersama yang tentu saja kami setujui. Kau tentu ingat kawan, kami tidak punya kompor. Segera kami mengumpulkan mie instan dan air yang kami miliki dan memberikannya ke bapak-bapak untuk dimasak. Kami lanjut selfie, hahaha benar-benar bukan istri idaman.
Lelah berselfie ria kami menuju tenda tetangga kami dan membantu sedikit yang kami bisa. (yakalee gak bantuin).
Tak pernah kusangka dan tak pernah kuduga, makanan yang disediakan sangat banyak satu porsi bisa untuk tiga kali makan. Aku berpikir bagaimana cara menghabiskannya.
"gilak, ini porsi makan dua hari, " kata Sofi sambil mensuir-suir daging ayam.
Sambil menunggu semuanya siap abang mapala membuat teh jahe, bukan teh jahe instan tapi benar-benar jahe yang dipotong dan diseduh bersama gula dan teh, sementara abang cantik yang baik hati tengah asik membakar sampahnya.
"Fit bangun Fit, sarapan yok! Turun ke bawah ya" aku membangunkan Fitra yang sedang berkelana di alam mimpi.
"hmmm"
"cepat bangun"
"iyaa"
Nasi putih ditambah mie instan memenuhi piring-piring kami, kompor masih hidup berada di tengah-tengah tenda, tentu saja memanaskan sambal yang membeku. Setelah semuanya siap kami mulai menyantap sarapan bersama-sama, yup kami bertujuh dalam satu tenda menikmati sarapan pagi dengan panorama Singgalang di depan pintu tenda. Ooh benar-benar menyenangkan, "ini seperti keluarga" batinku
Tak pernah kusadari kisah semalam di gunung Marapi akan mengawali kisah baper yang tentunya disulut Fitra dengan aku sebagai bahan bullyannya. Menyebalkan.
***
"bang bagi foto-foto di atas tadi" pinta Sofi"pakai Line aja lah Sof, " kataku menimpali
"sekarang aja lah, pakai Bluetooth, line susah nanti"
Akhirnya mereka berduapun bertukar foto lewat Bluetooth.
"nanti kirim ke line ku ya Sof, " pintaku.
"yoi"
Siang nanti kami harus segera turun biar tidak kemalaman sampai di bawah. Menurut perkiraan jika kami turun pukul 11 kami akan sampai pukul tiga sore. Aku hanya menatap sendu ke arah mereka.
"kita akan sampai dekat-dekat maghrib" kataku ketus. Sofi hanya tersenyum.
"kalau turun cepat nyo, " timpal Fitra.
Laras sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Ketika turun aku yang memimpin dan Sofi di belakangku. Aku tak perlu risaukan Fitra dengan Laras. Mereka lebih kuat dibandingkan kelihatannya.
Meskipun awalnya aku yang memimpin, pada kenyataannya aku yang paling terakhir.
0 komentar: