Mengintip Keseruan Camping di Pulau Sirandah
Ini bukanlah perjalananku ke Sumatera Barat (Sumbar) yang
pertama kalinya. Kali ini aku pergi bersama Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)
Gagasan dalam rangka kunjungan kelembagaan di LPM Genta Universitas Andalas dan
Suara Kampus UIN Imam Bonjol sekalian jalan-jalan di akhir kepengurusan 2017.
Rencana awal kami berangkat dari Pekanbaru pada Kamis pukul
20.00, seperti kebiasaan masyarakat Indonesia pada umumnya menganut filosofi
karet maka kami benar-benar meninggalkan Pekanbaru setelah lewat tengah malam
atau bisa dibilang hampir dini hari. Hal ini disebabkan mobil rental yang kami
sewa masih dipakai oleh pemilik usaha rental sehingga dengan terpaksa kami
harus menunggu sampai mobil tiba.
Kami dari Gagasan terdiri dari delapan orang, aku, Muti,
Ika, Linda, Hanif, Adrial, Siyah, Andri dan Angel. Hanif mengajak tiga orang
temannya untuk menemani perjalanan kami yaitu Sauky, Beri dan Ikbal. Awalnya
Hanif mengatakan kalau tiga orang temannya ini dari jurusan Teknik Informatika,
tapi tentu saja dia tidak dapat membohongiku, ketika melihat wajah tiga teman
hanif aku langsung teringat pendakian ke Marapi tahun 2016 lalu. Aku yakin
mereka adalah anak Teknik Elektro, bukan Informatika. Tapi sudahlah toh tidak
ada pengaruhnya dengan kami.
Kuceritakan padamu kawan, kami merental dua mobil, satu
berwarna putih dan satunya berwarna hitam. Yang pertama datang adalah mobil
putih, dikendarai Hanif, sedangkan yang hitam belum tiba. Aku baru tahu kalau
Hanif baru bisa nyetir mobil melihat dari cara dia memutar mobil dalam jangka
waktu yang lama, sempat tercelutuk dari mulut Ika kalau ia tidak akan jadi ikut
ke Sumbar kalau Hanif yang bawa mobil. Kami berebut untuk tidak semobil dengan
Hanif karena kami juga masih sayang dengan nyawa.
Mabuk
Aku sangat menyukai perjalanan, meski entah mengapa
perjalanan jarang menyukaiku. Aku sadar akan tubuhku yang tidak tahan berada
dalam waktu lama di dalam mobil alias mabuk, tapi aku tak peduli. Menurutku
kalau terasa mabuk ya tinggal dimuntahkan, apa susahnya? Perut kosong ya diisi
lagi. Aku juga membawa stok kantong kresek dan banyak makanan jika
sewaktu-waktu muntah maka aku tinggal mengisi perut agar ada yang dimuntahkan
kalau mabuk lagi. Asal kau tahu kawan? Muntah tanpa ada yang bisa dikeluarkan
itu rasanya menyakitkan.
Mungkin karena mengejar waktu, Beri yang mengemudi mobil
yang aku tumpangi bersama Sauky, Muti, Adrial, Siyah dan Andri melaju dengan
sangat kencang. Aku benar-benar heran, Beri mengemudi melebihi supir Medan,
kurasa dia lebih cocok menjadi supir ambulan. Ketika menyetir ia mengobrol
dengan santai bersama kami, bercerita kalau dia dulunya juga pemabuk. Katanya
kalau mabuk naik mobil jangan pikirkan tentang mabuk, pikirkan hal lain. Dalam
hati aku sempat mengumpat, bagaimana aku bisa
berpikir tentang hal lain kalau sedari tadi dia cerita tentang mabuk.
Jalan menuju Sumbar terkenal dengan kelokannya yang tajam,
dengan laju mobil yang luar biasa kencang aku memuntahkan semua isi perutku.
Berikutnya menyusul Siyah dan Adrial, aku sempat kasihan melihat Muti yang
repot mengurus makhluk di sebelah kirinya yang mabuk.
LPM Genta
Kami tiba di Sumbar pagi sekitar setengah sepuluh, berhenti
di sebuah masjid untuk membersihkan diri karena kami akan mengunjungi LPM Genta
Universitas Andalas, kulihat Angel terhuyung-huyung membawa badan. Yup, ia dan
Linda juga tak kalah mengerikan dibandingkan aku, hanya saja aku lebih sehat
hahaha.
Setibanya di LPM Genta kami disambut dengan baik dan
mengobrol santai bersama pengurus Genta, berkenalan dengan mereka,
bercengkerama dan diakhiri dengan berfoto bersama. Mereka tidak fasih berbahasa
Indonesia, maklum tinggal di mayoritas orang Minang pasti sama dengan tinggal
di mayoritas orang Jawa, dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung, mereka
cantik-cantik dan ganteng apalagi pimumnya wkwk. Sayangnya Ika dan Muti serta
tiga makhluk TE tidak ikut bersama kami, aku tak tahu kemana Ika dan Muti
pergi, yang kutahu Trio TE pasti tengah menggoda mahasiswi Universitas Andalas
dengan Qiu Qiu andalan mereka.
Usai dari Genta kami bertolak ke rumah keluarga Beri, mereka
sangat baik dan kami disambut dengan ramah, kami membuka bekal yang kami bawa
dan makan bersama di sana, beristirahat cukup lama sebelum melanjutkan
perjalanan ke Pulau. Rencananya kami akan nge camp di Pulau Sirandah setelah
kunjungan kelembagaan, tapi sebelum itu kami akan mengunjungi LPM Suara Kampus
Imam Bonjol terlebih dulu.
LPM Suara Kampus
Sebelum tiba di UIN Imam Bonjol aku sudah menghubungi
rekanku di sana, kami kenal ketika Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL)
di Lampung, Revo namanya. Karena dia orang minang kami memanggilnya Uda.
Setelah sampai di UIN dan turun dari mobil Uda menyambutku dengan senyum
lebarnya, tak lupa dia menanyakan oleh-oleh yang kubawa dari Pekanbaru, aku
hanya menjawab tidak ada.
Sama halnya di LPM Genta, kami mengobrol, bertukar
pengalaman, majalah dan bercengkerama serta diakhiri dengan foto bersama. Uda
sempat mengajak kami untuk ikut diskusi bersama Aliansi Jurnalis Indonesia
(AJI) Padang, tapi karena dikejar waktu kami tidak bisa memenuhi ajakan mereka.
Sangat disesalkan.
Uda berkali-kali membujukku untuk tinggal beberapa lama
sebelum pergi, katanya masa iya jauh-jauh dari Pekanbaru ke sini cuma sebentar.
Karena sudah janji tidak akan lama kami pun berpamitan, saat itu yang ikut ke
Suara Kampus hanya aku, Hanif, Siyah, Adrial, Linda, Angel dan Andri, yang
lainnya beristirahat di rumah keluarga Beri.
Satu hal yang sedikit ku sesalkan adalah tidak mengunjungi
SKK Ganto Universitas Negeri Padang (UNP) padahal jaraknya tidak jauh, lagi
karena waktu. Padahal ada satu teman PJTL ku dari Padang di sana, Uda Jimi.
Akhirnya aku hanya bisa titip salam ke Uda Jimi melalui Uda Revo. Kalau
ketemuan bertiga pasti lebih seru.
Go to Island
Menuju Pulau Sirandah melalui Desa Sungai Pisang, dari sini
jalanan berkelok dan menurun memanjakan mata kami, sampai di dermaga kami
menunggu sejenak sebelum pergi. Begitu kurasakan keramahan warga setempat, saat
itu batrai smartphone ku habis, aku
pergi ke salah satu warung di dekat dermaga, mengobrol sejenak dan meminta izin
untuk men charge ponselku, tak disangka mereka mengiyakan dan menyuruhku masuk
ke dalam rumah mereka, padahal aku baru pertama kali menginjakkan kaki di sini,
mereka percaya dengan pendatang sepertiku. Setelah men charge ponsel aku bercengkerama dengan keluarga pemilik rumah.
Salah satu dari mereka berkata kalau ada apa-apa sebut saja nama dia, dia juga
bekerja di Pulau Sirandah, aku hanya mengangguk mengiyakan.
Hanif memanggil kami untuk segera bergegas menuju perahu.
Beberapa menit kemudian kami bertolak menuju Sirandah, melewati Pulau Pamutusan
yang mempesona, Pulau Sikuai, Pulau Ular dan akhirnya sampai di Dermaga
Sirandah. Ribuan ikan-ikan berenang di kaki-kaki dermaga, aku membantu
menaikkan beberapa barang, kemudian berfoto-foto seperti baru pertama kali
melihat pantai. “Ikbal, galon ini berat, aku tidak kuat, biar kamu saja,”
kataku pada Ikbal sambil turun dari perahu.
Hari itu hari kamis tidak banyak pengunjung yang datang ke
Sirandah, mungkin kalau weekend pasti
banyak yang datang. Pantai di sini sangat bersih dan putih pasirnya, ada banyak
gazebo-gazebo dan penginapan untuk wisatawan, ada juga pohon yang menempel di
batangnya cok sambung, katanya untuk men charge
ponsel, listrik hanya ada saat malam hari. Di sini juga disediakan kamar mandi umum yang semuanya tidak perlu
membayar lagi, karena sudah termasuk biaya masuk ke pulau. Malamnya baru aku
ketahui, selain bisa men charge di
bawah pohon, bisa juga di café dan warung-warung yang ada di Pulau Sirandah.
Gratis.
Kami mendirikan tenda di area paling ujung, tiga buah tenda,
dua untuk perempuan satu untuk laki-laki, padahal jumlah kami 50:50, tapi
laki-laki selalu mengalah. Tapi tak apa itu sudah kewajiban mereka. Hahaha.
Malam itu ada fenomena unik yaitu blue moon, red moon dan full
moon. Aku sangat bersyukur bisa menikmati semua itu di tempat seindah ini,
duduk berdua dengan Muti di dermaga menikmati bulan merah sambil men charge ponsel. Setelah itu kami kembali
ke tenda dan mengobrol ria di dekat perapian, kebanyakan sudah lelah karena
perjalanan jauh Pekanbaru-Sumbar, tinggallah di dekat perapian aku, Ika, Linda
dan Beri.
Tengah asik mengobrol mataku memandang laut di hadapan kami
yang begitu luas, suasan malam di bawah sinar bulan purnama memudahkanku
melihat segalanya, sore tadi air pasang dan tengah malam air surut sangat jauh.
Aku berlari ke arah pantai, melihat secara dekat batu-batu karang yang
bermunculan kala surut, Linda dan Ika mengikutiku disusul Beri.
Malam itu kami habiskan bercerita hal-hal apapun yang dapat
dibicarakan sambil menyusuri tepi pantai sambil tertawa, mulai dari cerita asal
mula nama Beri, hingga kisah mirisnya, cerita tentan Ika dan tragedi pencarian
kepiting tengah malam buta.
Kami kembali ke tenda setelah puas mendapatkan tiga ekor
kepiting berukuran sedang setelah menangkapnya dengan susah payah. Tiba di area
perkemahan aku memutuskan tidak tidur dalam tenda karena terasa panas, ku ambil
selimut dan tidur di atas spanduk besar yang digunakan sebagai alas. Kata orang
aku tidur seperti jam, berputar dan ngorok. Untuk berputar aku percaya, tapi
untuk ngorok itu adalah mustahil.
“Selamat Pagi,” itu kata pertama yang kudengar entah dari
siapa disusul dengan celaan, betapa jeleknya wajahku ketika bangun tidur. Hari
masih gelap sehingga aku tidak bisa melihat dengan jelas pemilik suara selamat
pagi itu.
Pagi itu kami bercengkerama duduk di tepi pantai, ada yang
tiduran di hammock, mereka
menceritakanku ketika tidur malam tadi.
“Nafi, kau tidur kayak laki-laki, lasak, kayak jam,
berputar-putar,”
“Biarin, kalau tak gitu nanti kalian dekat-dekat sama aku,”
jawabku sekenanya.
“Dari pada tidur dengan kau mending aku tidur dengan matras,”
celetuk Ikbal dengan muka dinginnya.
Belakangan dia pura-pura lupa telah membandingkan aku dengan
matrasnya yang tak seberapa. Masa iya aku dibandingin dengan matras, dan dia
lebih milih matras. Sebagai perempuan aku memikirkannya berulang-ulang kali.
Pulau Penyu
Puas bermain di sekitar tenda dan mengubur Muti menjadi
duyung kami berjalan-jalan dan melihat sebuah gerbang menuju hutan denga
tulisan Pulau Penyu. Rasa penasaran membawa kami menuju hutan, aku, Adrial,
Angel, Andri dan Siyah. Aku berpikir maksud dari Pulau Penyu adalah tempat
dimana kami bisa melihat penyu. Semakin jauh kami menyusuri hutan kami tak
melihat satu ekorpun penyu melintas, nyamuknya sangat banyak, sempat terpikir
olehku untuk kembali tapi rasa penasaranku lebih kuat dan membawa kakiku
melangkah lebih jauh. Samar-samar terdengar deburan ombak, Pantai pikirku.
Benar saja ujung dari jalan ini adalah pantai, berjarak
sekitar 50 meter dari tepi pantai ada sebuah pulau yang dilihat dari sudut
manapun bentuknya seperti penyu. Lantas aku langsung berpikir kalau Pulau Penyu
adalah pulau yang bentuknya sepertin penyu. Malamnya aku mendengar cerita dari
penjaga warung kalau dulunya di Pulau Penyu memang sangat banyak penyu, karena
kedatangan manusia mereka pun merasa terancam dan meninggalkan Pulau Penyu.
Usai puas bermain di Pulau Penyu kami kembali ke tenda untuk
memberitahu yang lain agar datang ke Pulau Penyu. Akhirnya kami pergi lagi ke
sana, jika tadi aku tidak sampai ke Pulau Penyu, maka kini telah sampai, air
surut sehingga kami bisa melangkahkan kaki berjalan ke Pulau Penyu. Sangat
indah dan menakjubkan.
Have Fun
Tujuan dari perjalanan ini adalah bersenang-senang, sorenya
kami berenang ke sana kemari di Sirandah, menyelam dan melihat ikan-ikan
wira-wiri di depan mata. Kapan lagi coba berenang dengan suasana alam, pasir
putih, pulau yang hijau, air yang biru dan tidak ada di Pekanbaru.
Malamnya kami membakar jagung yang kami bawa dari Pekanbaru,
dilanjutkan dengan bermain Werewolf
sampai tengah malam. Permainan ini adalah permainan mempertahankan diri dengan
berargumentasi, memutuskan siapa yang salah dan tidak dengan mudah mempercayai
orang lain, dimana manusia bisa menjadi Tuhan, Dokter, atau pembunuh berupa
serigala berwujud manusia. Tak terlukiskan dengan kata-kata kawan! Semua terasa
mengesankan. Orang-orang baru yang kutemui, LPM Genta, Suara Kampus, keluarga
Beri, warga Sungai Pisang, dan orang-orang di Sirandah, mereka benar-benar
ramah.
Pulang
Pergi untuk kembali, itu sudah pasti, paginya kami berkemas
dan bertolak kembali ke Sungai Pisang. Selamat tinggal Sirandah, batinku. Aku
tak tahu kapan lagi bisa berada di sini, mungkin tidak akan pernah, mungkin
suatu saat nanti tapi pasti tidak dengan orang yang sama. Aku sayang mereka.
Pulang kami singgah di Jam Gadang Bukittinggi, pusat
oleh-oleh dari Sumbar dan ikon wisata Sumbar. Setelah itu kami benar-benar
meninggalkan negeri Minang usai singgah sejenak di rumah keluarga Sauki. Hujan
deras kala itu dan penat yang dirasakan supir kami membawa kami ke keluarga
penuh kehangatan ini.
Kami baru kenal, Mama Sauki dan Neneknya menyambut dengan
pelukan hangat, cipika cipiki yang
membuatku terharu. Kami dibuatkan teh dan kopi serta bakwan yang besar-besar,
istirahat tidur dan kembali melanjutkan perjalanan.
“Aku suka sama keluargamu Sauki, tapi aku tidak mau sama
kau,” kataku kepada Sauki ketika di mobil.
“Aman tu, selalu ada tempat buat mu Nafi, kan bisa cuci
piring, bersih-bersih…,” jawab Sauki sekenanya. Sayangnya dia tak melihatku
melototinya dengan pandangan menusuk.
Di perjalanan pulang ada sebuah tragedi yang enggan
kuceritakan di sini, biarlah ia lekat dalam ingatan tanpa harus kutuliskan. Di
situ aku bertemu dengan keluarga baik hati yang rela menjemput kami di subuh
buta ketika memasuki area Kampar. Keluarga Sella, anggota Gagasan. Kami diajak
ke rumahnya beristirahat cuci muka dan tidur di atas kasur spring bed yang empuk, sarapan nasi goreng yang lezat ala mama
Sella. Serta kebaikan-kebaikan mereka yang tak bisa aku tuliskan satu persatu.
Perjalanan ini mengajarkanku arti sebuah ketulusan, aku
bertemu banyak orang baru dengan berbagai kebaikan yang mereka berikan kepada
kami, membuatku belajar untuk melakukan hal yang sama, menolong ketika sedang
kesulitan. Aku bahagia, aku tak pernah menyesal,jika waktu bisa diulang maka
aku masih memilih pilihan yang sama.
Aku tak peduli seperti apa mereka membuli ku sebagai bahan
candaan, ya karena candaan, aku tahu itu karena mereka sayang.
0 komentar: