Urip kuwi koyo sepur, madep mantep lurus neng dalane. Gandeng
seng kenek digandeng. Tinggal seng ra penting. Tubruk seng ngalangi dalan. (Hidup
itu seperti kereta api, menghadap mantap lurus di jalannya. Gandeng yang bisa
digandeng. Tinggalkan yang tidak penting. Tabrak yang menghalangi jalan).
Tinggal di Riau, kemungkinan melihat kereta api secara
langsung adalah kecil. Kenapa? Karena di Riau tidak ada kereta api, kalau di
Sumatera Barat (Sumbar) baru ada. Betapa aku iri dengan orang-orang yang
tinggal di Pulau Jawa sana. Bagaimana tidak? Pergi lintas provinsi mungkin hal
biasa bagi orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa.
Jarak dari Malang ke Semarang memakan waktu sekitar sepuluh
jam. Awalnya aku hendak pergi bersama
Ravi dari Universitas Brawijaya Malang, sekalian ada temannya gitu. Sebelumnya
kami mengikuti agenda Workshop Sejuk yang diadakan di Semarang.
Baca: Jejak Tanah Semarang
Ravi berencana pulang Sabtu Malam dan rencananya akan tiba
di sana Minggu pagi. Setelah aku cek lagi harga tiket kereta api di sebuah
aplikasi ternyata lumayan mahal, sekitar Rp. 200 ribu lebih, jika berangkat
Minggu malam biayanya hanya Rp. 100 ribuan. Tentu saja aku memilih opsi yang
lebih murah dan menikmati satu hari lagi di Semarang sambil jalan-jalan.
Maklumlah belum pernah ke Semarang.
Baca juga: Sepanjang Jalan Pandanaran
Minggu pagi aku menghabiskan waktu bersama Jelita sembari
menunggu jadwal terbangnya, juga bersama Eva yang akan berangkat ke Yogyakarta
naik bus. Setelah mereka berdua pergi aku bermain di LPM Idea dan bercengkerama
dengan penghuninya.
Sisa hari itu kugunakan untuk eksplor Semarang mengunjungi
Lawang Sewu dan Masjid Agung Semarang bersama Atok. Baca: Wisata Semarang.
Puas berjalan-jalan, malamnya aku diajak makan tahu penyet
di sekitar kampus UIN Walisongo bersama kru LPM Idea, Ainun, Firda, Atok, Nizar
dan Farid. menunggu itu rasanya menyebalkan, menunggu tahu penyet lebih
menyebalkan karena lamanya saaaangaaaat laaaamaaaa.
Tiketku pukul sepuluh malam, kami memesan makanan dari jam
setengah delapan tapi makanan benar-benar tiba di meja kami satu jam kemudian.
Buru-buru aku makan dan segera meninggalkan meja setelah berfoto bersama. Kata
Nizar, tak usah terlalu khawatir karena Stasiun Tawang tidak terlalu jauh.
Firda juga menambahkan kalau kereta api tidak se ontime pesawat.
Sebelum ke stasiun aku terlebih dulu mengambil
barang-barangku di kos Firda yang lumayan jauh dari warung tempat kami makan
tadi. Setelah itu memesan ojek online (ojol), letak kosan yang
berkelok-kelok sempat membuat drivernya tersesat dan butuh waktu lama
untuk menemukan lokasi kami.
15 menit sebelum kereta berangkat, aku baru naik ojek, dan
tentu saja, drivernya kusuruh ngebut sengebut-ngebutnya. Stasiun
yang kata Nizar dekat ternyata sangat jauh, belum lagi banyaknya lampu merah
yang harus kami lewati. Ada beberapa lampu merah yang sengaja dilanggar oleh driverku
saat itu. Tak henti-hentinya Asna, kakakku yang membelikanku tiket menelepon
untuk segera ke stasiun.
Tiba di Stasiun Tawang, Bapak Ojol langsung masuk tanpa izin
parkir dari petugas terlebih dulu, berlari-lari aku menuju pintu stasiun, belum
lagi aku check in dan mencetak boarding pass. Karena baru pertama
kali, aku tidak tahu apa-apa. Waktu semakin mepet, dengan panik aku bertanya ke
sembarang orang di stasiun.
“Kak di mana check in-nya?”
“Di sana dek.” Jawab seseorang sambil menunjuk ke beberapa
monitor di ruang itu.
Aku segera menuju monitor layar sentuh tersebut, saking
paniknya aku tak tahu apa yang harus kulakukan, di sampingku ada seorang
bapak-bapak dan langsung saja aku memintanya untuk mencetak boarding passku.
Melihat mukaku yang memelas bapak tersebut mendahulukan keperluanku daripada
keperluannya. Kemudian dengan memasang wajah kasihan bapak itu mengatakan kalau
keretaku sudah pergi satu menit yang lalu alias tidak bisa dicetak lagi.
Lemas mendengar semua itu, aku berlari sambil menyeret
koperku menuju pintu pemeriksaan dan bertanya memastikan ke petugas yang
berjaga. Petugas itu mengatakan kalau keretaku baru saja pergi dan tiketku
sudah hangus. “Kalau mau pergi malam ini, nanti jam setengah satu ada kereta
lagi, pesanlah tiketnya sekarang,” ujarnya.
Aku melihat berkeliling, puluhan pasang mata tengah
memandangku dengan wajah kasihan. Aku segera menyeret koperku diiringi
pandangan ingin tahu orang-orang di ruangan itu.
Satu hal yang menjadi pelajaran hari ini, jangan menganggap
sepele kereta api, ia tidak akan pernah menunggumu, memanggilmu saja dia tak
kan sempat. Bukan untung malah buntung, setelah tiket hangus, aku harus membeli
tiket dengan harga Rp. 200 ribu, aku kembali teringat Ravi.
Tak mau kejadian serupa terulang lagi, aku menunggu di ruang
tunggu dan memastikan aku tidak tertidur ketika kereta datang. Terimakasih
untuk temanku Vitra yang menelepon di waktu yang tepat, saat aku sendirian di
negeri orang dan menemaniku melalui suara menunggu kereta. Setidaknya sampai
paket dia habis. Asna juga tak henti-hentinya mengutukiku. “Rasakno dewe,
kan wes tak omongi (rasakan sendiri, kan sudah ku kasih tahu),” tulisnya
pesan singkat.
Ketika menunggu tiba-tiba pria paruh baya datang dan duduk
di dekatku, bertanya apakah aku baik-baik saja. Ternyata dia adalah driver
ojol yang mengantarku tadi. Ia meminta maaf kepadaku dan berniat menggantikan
uangku untuk membeli tiket tadi. Tentu saja aku tolak, karena itu bukan
sepenuhnya salah dia, tapi aku yang terlalu lalai.
Kereta Majapahit jurusan Malang, telah tiba di Stasiun
Tawang tepat waktu, berhenti untuk menjemput penumpang kemudian pergi lagi
tanpa menunggu mereka yang ketinggalan. Aku langsund duduk tertidur setelah men
charge smartphone, tak perlu aku khawatir jika tertidur, karena pemberhentianku
adalah stasiun terakhir kereta ini.
0 komentar: