Judul : Bilangan Fu
Penulis : Ayu Utami
Halaman :
573 hlm
Penerbit :
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta
Cetakan :
Juni 2018
“Yuda, si Iblis, seorang pemanjat tebing dan petaruh yang
melecehkan nilai-nilai masyarakat. Parang Jati, si Malaikat, pemuda berjari 12
yang dibesarkan ayah angkatnya untuk menanggung duka dunia.”
Novel Bilangan Fu, mengisahkan tentang spiritualisme kritis.
Berangkat dari seorang tokoh bernama Yuda, seorang pemanjat tebing yang juga
seorang mahasiswa. Yuda diceritakan sebagai sosok yang menjunjung tinggi jiwa
satria. Juga, ia sangat gemar bertaruh.
Dalam memanjat tebing, Yuda dan rekan-rekannya adalah
pemanjat tebing artifisial atau dirty climbing. Yang memanjat
menggunakan pasak, palu dan bor dalam prosesnya. Kemudian semua berubah setelah
Yuda bertemu dengan mahasiswa geologi bernama Parang Jati. Dalam suatu taruhan,
Yuda mengalami kekalahan sehingga mengharuskannya untuk berpindah ‘agama’ dari dirty
climbing menjadi clean climbing (metode panjat tebing yang tak
merusak).
Yuda sangat rasional, modern serta tidak mempercayai
takhayul. Berbeda dengan Parang Jati yang menghargai alam dan percaya bahwa
setiap tempat pasti ada penunggunya.
Setting tebing dalam novel ini berada di perbukitan gamping,
Tebing Watugunung. Di mana penduduk sekitar Watugunung sangat mempercayai
hal-hal yang tidak bisa dipikirkan secara rasional. Jati yang tumbuh besar di
daerah tersebut tentu saja memiliki pemikiran dan kebajikan yang berbeda
dibandingkan dengan Yuda.
Sebelum bertemu Jati, Yuda mengalami kejadian ganjil ketika
bermalam di Watugunung. Dalam mimpinya ia didatangi oleh penunggu tebing. Yuda memberi
nama Sebul, makhluk berkaki serigala, berbadan wanita tapi berkelamin jantan. Makhluk
itu membisikkan Bilangan Fu kepada Yuda. Tak hanya sekali makhluk itu datang,
tapi berkali-kali. Hal ini menimbulkan
pertanyaan besar bagi Yuda tentang Bilangan Fu.
Ayu Utami, penulis novel ini mengisahkan jika Jati selain
mengedepankan nilai-nilai spiritualisme kritis, ia juga memperjuangkan
kelestarian lingkungan. Ia menentang keras upaya penambangan batu secara
besar-besaran yang dilakukan perusahaan yang mengancam lingkungannya.
Nilai-nilai agama sangat sarat dalam novel ini, di mana
monoteisme dianggap bertentangan dengan tradisi-tradisi masyarakat
Watugunung. Sesajen atau persembahan
dianggap sesuatu yang syirik menyekutukan Tuhan, pelakunya dianggap orang kafir
dan tidak lagi beriman kepada Yang Maha Esa. Selain itu novel ini juga
mengkritik militerisme dan modernisme.
Tapi Jati berpikir dari sudut pandang yang berbeda, jika
manusia yang berpikir modern membayar bea cukai kepada penguasa. Maka menurut
Jati tidak ada salahnya juga jika masyarakat membayar Bea Cukai dalam bahasa
tradisi disebut sesajen kepada alam.
Jati menganggap kepercayaan tersebut adalah wujud manusia
dalam menghargai alam, tidak merusak dan menjaga kelestariannya. Dengan adanya
kepercayaan seperti penunggu atau bahkan
Nyai Rara Kidul akan membuat manusia tidak semena-mena terhadap alam.
Lalu apa sebenarnya Bilangan Fu yang membuat hati Yuda
bergejolak? Spiritualisme kritis apa yang dimaksud oleh Jati? Benarkah
memberikan sesajen adalah perbuatan syirik? Lalu apakah makhluk-makhluk
penguasa tak kasat mata itu benar adanya?
Dalam menceritakan spiritualisme kritis, Ayu banyak
memberikan ulasan-ulasan yang menyinggung sejarah raja-raja tanah Jawa. Pembaca
bisa menilik kembali kisah-kisah dalam Babat Tanah Jawi melalui Novel Bilangan
Fu. Ayu mengangkat wacana spiritual keagamaan, kebatinan, maupun mistik ke
dalam tulisannya yang menghormati sekaligus bersikap kritis. Ayu mengangkat wacana keberimanan
tanpa terjebak dalam dakwah hitam dan putih.
Tulisan-tulisan Ayu sarat akan deskripsi. Baik itu tentang panjat tebing, bentang alam,
legenda zaman dahulu, bahkan sejarah Indonesia di masa Soeharto dan beberapa
presiden setelahnya. Dari deskripsi tersebut Ayu menyuguhkan banyak kosa kata
baru dan mengingatkan kembali kepada pembaca akan sejarah dan legenda yang ada
di Nusantara.
Hanya saja, dalam penulisannya Ayu menjelaskan suatu
deskripsi secara penuh, sehingga tokoh utama kehilangan eksistensinya dalam
novel ini. Jika tidak berhati-hati, pembaca akan mudah melupakan keberadaan
tokoh-tokoh utama ketika Ayu mulai mengisahkan Babad Tanah Jawi, legenda, dan
kisah sejarah lainnya.
Ayu memberikan banyak kosa kata baru kepada pembaca, tetapi banyak
kata yang tidak familiar sehingga sulit untuk memahami maksud dari sebuah
kalimat. Seperti kesunyatan, ruwat, pauh dilayang, selibat, padma, sadukaling
dan banyak lainnya.
Novel ini adalah manifesto Ayu Utama tentang sebuah sikap
yang dianggap perlu diutamakan di zaman ini: sikap religius ataupun spiritual,
yang kritis.
0 komentar: