Semarang dilihat dari lobi Favehotel |
Topografi daerah Semarang adalah perbukitan. Tak heran jika jalanan menanjak dan menurun curam. Berjalan kaki beberapa langkah pun terasa berat karena harus mendaki untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Aku selalu berpikir jika warga Semarang adalah pendaki-pendaki tangguh. Tak perlu ke gunung, jika tiap langkah yang mereka lewati adalah pendakian. Bedanya dengan gunung, jalanan di Kota Lunpia tentu saja aspal, bisa lalu lalang semua jenis kendaraan darat di jalurnya masing-masing.
Kendati demikian, keindahan Kota Semarang terlihat jelas ketika malam hari. Lampu-lampu di jalanan, rumah-rumah hingga tower menyemarakkan Semarang kala malam menjela.
Aku menginap di Favehotel ketika pelatihan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk). Restoran hotel terletak di lobi. Kau tau kan kawan, jika lobi ada di lantai paling dasar sebuah gedung setelah basement.
Dari lobi aku merasa seperti di lantai lima gedung bertingkat, jika di Pekanbaru. Aku baru merasa jika lobi bukan lah lantai atas di hari terakhir pelatihan.
Semarang di lihat dari lobi Favehotel saat siang |
Bagaimana tidak? Ketika aku melongokkan kepala di pagar pembatas, yang kulihat adalah rumah-rumah warga nun di bawah sana. Aku merasa seperti berada di ketinggian, tanpa kusadari, aku hanya berada di lobi. Maafkan kenorakanku kawan. Di Pekanbaru bukan perbukitan, hanya tanah landai yang aman dari bencana. Kecuali asap tentu saja.
Tak hanya itu, jika di hotel mungkin kamu berpikir jika pemandangan indah hanyalah hal biasa. Kuajak kau berkunjung ke kosan Ainun di Jalan Sunan Ampel, Tambakaji kawan. Jalanan menanjak curam, mobil pun terdengar merintih ngos-ngosan melewatinya. Mungkin terlalu berlebihan jika aku menyebutnya memiliki kemiringan 45 derajat. Kosan Ainun berada di tengah-tengah kemiringan itu.
Tapi, jeng jeng jeng.... Kamar Ainun ada di lantai dua. Membuka pintu di balkon lantai dua, memotret pemandangan, update ke Wa Story dengan caption 'No Caption'. Lalu masuk sebuah komentar. "Waw, itu pemandangan dari hotel ya," tulis seseorang di balik layar ponsel.
Semarang dilihat dari balkon kosan Ainun |
"Yang nyalanya terang itu bandara," kudengar sesorang bergumam. Tapi aku tahu kalau itu hanya asal-asalan. Mana mungkin itu terlihat dari sini.
Lampu-lampu menyala indah dari kejauhan. Hanya dari balkon kosan, orang mengira itu adalah hotel. Luar biasa bukan Semarang itu kawan? Sekali lagi maafkan kenorakanku. Tapi kurasa tak hanya aku saja yang berpikir demikian.
Pernah aku menikmati pemandangan yang hampir mirip dengan Semarang. Ingatanku kembali ke masa lalu, di sebuah Jembatan Siti Nurbaya di Kota Padang. Dari jembatan ini aku melihat bukit di mana banyak warga tinggal di sana. Lampu-lampu menerangi rumah-rumah mereka memberikan pemandangan indah ketika dilihat dari kejauhan.
Baca Juga: Jelajah di Padang dalam Setengah Hari
Kembali ke Semarang. Semilir angin malam menerbangkan rambutku yang ku kuncir asal-asalan. Makan malam terasa lebih nikmat ditambah canda tawa di malam terakhir bersama mereka. Sate kacang dengan nasi lagi-lagi membuatku takjub akan Semarang. Sate biasanya pakai lontong kalau di tempatku, di sini Sate pakai nasi. Makannya muluk (pakai tangan).
Tak akan kulupakan malam itu bersama kalian. Menggosip ria di atas balkon. Eva dari Surabaya, Jelita dari Aceh, Widya dan Nurul dari Medan, serta Nia dari Pekanbaru. Tak lupa untuk Ainun, tuan rumah kami yang tak kenal lelah.
Nb: maafkan saya yang memotret hanya dengan kamera hengpong. Karena saya tidak punya kamera DSLR jadi mohon dimaklumi. Kalau ada yang mau belikan saya akan sangat senang.
0 komentar: