Di suatu hari yang cerah berawan. Aku mengunjungi kampus
tercinta UIN Suska Riau, sekadar melaksanakan tugas danbertemu kawan lama.
Setelah menghabiskan makan siang di Kantin Fakultas Dakwah
dan Ilmu Komunikasi (FDK), aku berjumpa dengan salah satu senior di organisasi
dulu, Albert namanya. Berbasa-basi menyapa kemudian terlibat percakapan
bersamanya dan kedua temannya yang tak kukenal.
Akhirnya aku berpamitan begitu juga seniorku, kami berjalan
bersama-sama. Keluar dari kantin aku bertemu dengan seorang yang ku kenal sedang
menggelar tikas sekadarnya tak jauh dari tempat ku berada. Bagus namanya, ia
tengah asik membaca sebuah buku ditemani seorang perempuan di sampingnya
bernama Putri.
Di depannya buku-buku diletakkan dengan rapi di atas tikar
berukuran kira-kira 0,5 x 1 m. Aku melihat beberapa buku filsafat, novel dan
buku-buku lainnya tergeletak menunggu seseorang untuk membacanya.
Awalnya aku mengira jika ia sedang berjualan buku. Ketika aku
menghampirinya, ia memberikanku sebuah alas untuk duduk. Bagus mengajakku untuk
membaca buku-buku yang disiapkannya. Ternyata ia tidak sedang berjualan kawan. Bagus
dan kawan-kawannya mengajak teman-teman mahasiswa untuk gemar membaca.
Ketika kutanyai, bagus mengatakan jika buku-buku tersebut
adalah buku pribadi miliknya, juga buku-buku dari anggota Komunitas Matoa Kita.
Sebuah komunitas yang terdiri dari lima orang di dalamnya, mengambil nama Matoa
karena dulunya sering berkumpul, berdiskusi dan bercengkerama di bawah pohon
Matoa.
Setiap hari selasa, Bagus dan kawan-kawannya menyediakan
buku di bawah pohon tak jauh dari kantin tersebut. Meminjamkannya pada siapa
saja yang berkeinginan untuk membaca. Banyak macam bukunya. Terkadang mahasisa
sekadar lewat, atau meminjam kemudian duduk manis sambil membaca di kantin. Untuk
meminjam, cukup berikan nama dan nomor telepon. Akan diberikan waktu maksimal
satu minggu jika ingin meminjam untuk dibawa pulang.
Hanya saja, terkadang mahasiswa bahkan dosen yang meminjam seringkali lupa untuk mengembalikan.
Kata Bagus ada yang susah untuk mngembalikan meski sudah dihubungi melalui
telepon. Tak hanya mahasiswa, tapi dosen juga. Mungkin karena mereka sama-sama
manusia, jadi sedikit banyak perangainya sama.
Putri membacakan sebuah puisi dari sebuah buku, meminta
Bagus untuk mendengarkannya, aku turut mendengarkan. Semakin aku mendengar,
semakin tak paham aku maksud dari sebuah puisi.
Terlibatlah aku dalam diskusi bersama anggota Komunitas
Matoa Kita. Kemudian datang pria berambut gondrong turut bergabug bersama kami,
Yurin. Disusul pria gondrong berambut keriting yang diikat rapi, Wamoi.
Diskusi yang kami bahas
bermacam-macam, mulai dari makna puisi yang tak bermakna, rambut
gondrong, dunia perkuliahan sampai halal-haramnya tuak atau pun daging babi.
Mereka memiliki pemikiran yang cukup kritis, mungkin didapat
dari buku-buku yang mereka baca. Karena kulihat juga ada buku kiri dalam
tumpukan buku yang digelar siang itu.
Membahas terkait pekerjaan, aku mendapatkan pengetahuan,
jika ingin punya banyak uang harus niatkan hati mencari uang. Jangan awali niat
dengan mencari kerja. Berbicara tentang kerja, tidur pun orang bilang itu
sebuah pekerjaan. “Apa sih, kerjaannya tidur aja.”
Jika berniat mencari kerja, maka yang akan di dapat pasti
pekerjaan, tak tahu apakah pekerjaan itu menghasilkan uang atau tidak. Tidur aja
bekerja, nyapu juga bekerja, cabut rumput pun bekerja. Tapi kalau diniatkan
mencari uang, pasti yang dapat uang. Mungkin bisa dibuat filosofi, jika kau
mencari uang, maka pekerjaan juga pasti kau dapat. Jika kau mencari kerja,
belum tentua uang bisa kau dapat. (apaan sih?).
Menurutku kegiatan literasi seperti ini cukup bagus, berbagi
buku agar semua orang bisa ikut membaca meski tak punya. Bisa meminjam asal
tahu mengembalikan.
0 komentar: