Instrumen lagu melayu mendayu-dayu setiap haru Sabtu dan
Minggu di lantai satu Transmart Pekanbaru. Aku selalu penasaran dengan
sekelompok pemudah yang memainkan music-musik tersebut. Dari basement hal
pertama yang kujumpai adalah pemuda-pemuda yang bersemangat menggesek biola,
atau memukul cajon.
Saat aku datang kala itu, ada tiga pemuda, memainkan instrumen
musik modern. Mereka memakai tanjak, di depannya diletakkan tempat biola. Sesekali
orang memasukkan uang ke dalam tempat tersebut. Ingin aku menyapa tapi aku tak
kuasa, takut menganggu atau apa lah namanya.
Aku berkenalan dengan Hardi, Ketua komunitas tersebut. Ternyata
mereka adalah komunitas professional. Mereka menyebutnya Riau Street Musician (RSM). Mereka rutin
tampil di Transmart Pekanbaru dari jam tiga sore sampai jam Sembilan malam.
Hardi menceritakan jika alat-alat yang mereka miliki tak
hanya alat modern seperti biola dan piano, mereka juga punya alat musik klasik dank has melayu Riau.
Bahkan nama pun baru aku dengar. Betapa aku tak tahu menahu terkait alat musik
Riau. Padahal aku lahir dan tumbuh besar di negeri Melayu ini, meski pun aku
bukan orang melayu. Nih aku kenalkan alat-alat yang sering dipakai sama
orang-orang RSM.
Ada banyak macamnya, mulai dari gendang bebano, gambus,
akordion, calempong dan nama-nama yang tidak ku ketahui sebelumnya. Selain membawakan
lagu melayu, mereka juga membawakan lagu-lagu modern. Lagu-lagu melayu seperti
Randai Kuansing, Zapin, Rarak Gondang dan lain-lain.
Memang tidak dapat dipungkiri jika lagu-lagu daerah mulai
tergerus dengan adanya globalisasi. Hilang oleh lagu pop modern dan tenggelam
dalam lagu-lagu Kpop yang digandrungi anak-anak millenial.
Menjadi suatu misi bagi Hardi dan teman-temannya di RSM
untuk dapat mendekatkan diri dengan generasi saat ini melalui lagu dan musik. Kalau
dipikir-pikir memang ada benarnya juga ya, sangat banyak masyarakat Riau
terutama muda-mudi yang tidak kenal dengan musik tradisional. Salah satunya aku
tentunya.
Hardi juga bercerita jika anggota RSM saat ini sekitar 25
orang. Dalam rentang usia 20 hingga 35 tahun. Mereka semua memiliki latar
belakang pendidikan musik. Bahkan ada juga yang sudah mengajar kelas musik. Memang
tak mengherankan jika dalam setiap penampilan selalu ada yang berdiri menonton
dan memberikan uang secara Cuma-Cuma. Hardi sempat mengatakan, dalam satu kali
tampil biasanya tiga orang, bisa mendapatkan uang sebanyak Rp 500 ribu. Waaah, banyak kan. Rasanya aku ingin
juga melakukan hal serupa, namun apa daya, otakku tak cocok menjadi musisi.
Banyak cara anak muda saat ini mengembangkan budaya melayu,
ada yang melalui animasi, ada yang melalui musik, ada yang melalui komik. Kalau
aku lebih memilih tulisan sebagai sarana untuk memperkenalkan budaya di
daerahku.
Andai aku bisa bernyanyi aku ingin menyanyikan lagu budaya,
andai aku bisa memainkan musik aku ingin memainkan musik calempong yang selalu
ada di upacara-upacara adat. Namun apa daya, memainkan kecrek rebana saja aku tak pandai apa lagi memainkan calempong.
Riau Street Musician,
komunitas keren yang mengangkat budaya daerah. Siapa bilang generasi millenial
harus melupakan seni daerah sendiri. Kalau bisa ya ayo kita kembangkan, kalau
tau ayo kita ceritakan, jangan sampai semua alat musik itu tak bisa kita
nikmati lagi dan hanya terpajang indah di museum. Ayo kita tunjukkan kepada
dunia, bahwa Riau juga punya cerita. Tak akan hilang melayu di bumi.
0 komentar: