Berfoto dari atas bukit menuju Koto Lamo |
Cerita ini sebenarnya sudah lama, tepatnya tahun 2017 lalu
di akhir tahun pada bulan Desember. Aku diajak
Sofi, temanku untuk survei sebuah acara TV Swasta, Si Bolang.
Lelah dengan urusan proposal
yang tak terlihat mana ujung mana pangkal, akhirnya aku mengaminkan
ajakan Sofi untuk menjelajah Rimbang Baling. Kebetulan salah satu seniorku di
Gagasan, Ika Piyasta adalah warga Desa Rimbang Baling.
Berangkat lah kami menuju Rimbang Baling menggunakan sepeda
motor, berkali-kali Ika menanyakan apakah kami benar-benar sanggup menuju
desanya. Dan berkali-kali pula kami meyakinkan Ika bahwa kami bisa dan sanggup
menuju Desa Koto Lama.
“Kampung Kakak tu jauh Fi, di pedalaman, sanggup kalian bawa
motor ke sana?” tanyanya.
Sampai di Desa Gema, kami harus menyeberang menggunakan
perahu penyeberangan melewati Sungai Subayang yang memiliki lebar sekitar 30
meter. Air yang jernih berwarna kehijauan menyejukkan mata, tak lupa kami
berfoto mengabadikan momen.
Kami berencana berkunjung ke Desa Koto Lama hanya untuk satu
hari, tapi karena ban motor bocor sebelum mencapai Desa Gema, sehingga kami
memutuskan, jika tidak bisa dalam satu hari kami pulang dan pergi alias PP,
maka kami akan menambah satu malam menginap di Koto Lamo.
Perjalanan usai menyeberang bener-benar perjalanan yang
menguras adrenalin. Jalanan menanjak dan mendaki. Bahkan aku bisa melihat
hamparan pemandangan nun di kaki bukit sana. Katanya, jika subuh hari tempat
ini akan penuh dengan awan. Akan terlihat seperti negeri di atas awan.
Terjawab sudah menapa Ika selalu menanyakan kesanggupan kami
mencapai desanya. Jalan yang ditempuh bukanlah jalan yang mudah. Bahkan Ika
menelepon keluarga di sana untuk menjemput kami dengan sepeda motor,
membawakannya hingga selamat sampai di desa. Kami pergi berenam, Aku, Sofi,
Fitri, Yuli, Ika dan Prengki adik Ika. Dua buah motor, setiap motor ditunggangi
oleh dua orang, menjemput kami sebelum melewati tanjakan. Kami bertukar tempat,
agar pemuda itu bisa menyetir dan membawa motor kami sampai ke tujuan.
Cuaca cerah ketika kami tiba di sana, melewati jembatan
gantung yang mengangkangi Sungai Subayang. Tiba di rumah Ika, kami menuju
sungai yang letaknya tak jauh di belakang rumah. Batu-batu sebesar mangga
berserakan di tepian sungai. Terdapat dua buah WC yang terlihat baru, kendati
demikian penduduk lebih suka membuang hajat di sungai dari pada menikmati
fasilitas yang disediakan di dekat lapangan hijau.
Dari depan ke belakang, Nafi, Yuli, Fitri, Sofi |
Usai melepas lelah kami menuju kediaman kepala desa untuk
mengeksplor lebih jauh tentang desa dari kaca mata ahlinya. Namun, dia sedang
berada di kampung seberang. Akhirnya kami memutuskan untuk menunda kepulangan
ke Pekanbaru.
Cuaca berubah mendung kala sore menjela, hujan deras tak
henti-henti memaksa kami untuk tinggal lebih lama dan bermalas-malasan di rumah
Ika. Hujan tak kunjung reda hingga malam, lampu yang bertenaga air pun tak
hidup dan berganti dengan lampu minyak bersumbu.
Sofi menggigil kala malam tiba, sebenarnya ia sudah terlihat
tidak enak badan sebelum berangkat ke Koto Lamo. Namun ia memaksakan diri. Pagi
datang dan tinggallah hujan rintik-rintik, air jernih di sungai berubah warna
menjadi kecoklatan. Riak-riak kecil yang kurasakan semalam berubah menjadi arus
deras yang membahayakan, air naik menutupi lapangan hijau di tepi sungai. Tak satu
pun orang berani bermain di sungai lagi.
Kabar dari kampung seberang, sungai yang menghubungkan ke
Desa Gema tidak dapat dilewati karena arus yang deras dan air yang meluap. Karena
itulah mau tidak mau kami terperangkap di pedalaman Rimbang Baling, tak cukup
sehari tapi tiga hari. Selama itu lah kami menggantungkan hidup dari kebaikan
keluarga Ika.
Setelah hujan deras semalam, pagi menyapa melupakan kejadian
yang membuat hati ketar-ketir. Kembali kami mengunjungi kepala desa dan bertemu
dengannya, Sofi dan Fitri membahas seluk beluk desa, sedang aku memperhatikan
dengan baik.
Yuli satu-satunya orang yang bahagia dengan terjebaknya kami
di sini, ia berhasil menghindarkan diri dari perjodohan yang diatur
keluarganya. Alasan yang logis dan tentunya termaafkan.
Pagi itu kami menyusuri tepian sungai yang airnya meluap
deras, warga berkumpul di jembatan gantung melihat arus sungai yang
menjadi-jadi. Banyak tempat indah di Koto Lamo yang membuatku tak bosan-bosan
memandangnya, warga yang ramah, tempat yang indah, jauh dari hingar-bingar
masalah dunia.
Satu-satunya akses yang dapat dilewati adalah perbukitan,
karena melalui sungai pun hanya mengorbankan diri ke penguasa sungai. Bisa melewati
perbukitan yang licin, belum tentu bisa menyeberang ke Desa Gema. Atas pertimbangan
itu lah kami berlama-lama di Koto Lamo. Hidup bergantung orang, mandi
bergantung alam, menjalani hari tanpa gawai dan sinyal.
Hanya handphone
jadul yang bisa menerima sinyal, atau jika mau pergi menanjak ke bukit untuk
mendapatkan sinyal H+. Tentu saja harus telkomsel, jangan harapakan provider
lain bisa masuk sinyalnya. Seperti berharap ayam jantan untuk bertelur.
Hari ketiga, air sungai menunjukkan tanda-tanda berdamai. Sofi
menunjukkan demamnya semakin parah, malam sebelumnya ia diberi air bodrex
ditambah air sprit untuk meredakan demam. Ketika pagi, muncul bentol-bentol
besar di wajahnya. Tak lain tak bukan itu adalah cacar. Entah dia dapat dari
mana, yang jelas tak mungkin dari desa yang indah ini. Karena kau tau kan
kawan, masa inkubasi cacar butuh waktu lebih dua minggu untuk benar-benar
menjadi cacar.
Diiringi rintik hujan kami berangkat sebelum hujan semakin
deras dan menaha kami lagi untuk menginap lebih lama. Kembali kami diantar
pemuda yang sama hingga penyeberangan menuju Desa Gema.
Terimakasih kuucapkan untuk mereka yang begitu baik
menampung kami, memberi makan kami, memberi atap yang nyaman untuk kami
tinggali. Di sana kudapati ketenangan yang belum kudapatkan sebelumnya,
meskipun aku tak terbiasa hidup tanpa sinyal.
Di perjalanan menuju arah Pekanbaru, kami diguyur hujan
deras. Tetap terobos hingga ke Pekanbaru.
Dua minggu kemudian, Aku, Yuli, dan Fitri terkena cacar
dalam waktu bersamaan. Tak sulit kami menerka, Sofi lah penyebabnya. Hanya Ika
yang tidak terkena cacar, karena sudah pernah kena ketika kanak-kanak dulu.
Sebelum cacar menyerang. Dari kiri ke kanan, Fitri, Yuli, Nafi (aku) |
Salam Rindu untuk Rimbang Baling.
Gile.. bodrex dicampur sprit.. mabok yang ada, serius tuh ?
ReplyDeleteiya seriusan, biar keluar semua cacar sama demamnya. idenya orang sana
Delete