Berbicara tentang pemanasan global selalu identik dengan es
di kutub yang mencair, efek rumah kaca, naiknya permukaan laut dan lain-lain.
Bagi yang tinggal di negara beriklim tropis seperti
Indonesia, mencairnya es di kutub tentu seperti minum es teh dengan hanya ada
satu balok es berukuran seujung jari alias tidak terasa. Padahal, hal tersebut
memberikan dampak luar biasa terkait naiknya permukaan air laut. Lagi-lagi itu
tidak terasa. Tiba-tiba muncul di berita, Pulau A tenggelam, barulah makhluk
bernama manusia sedikit merasa ketakutan.
Aku selalu menyukai hal-hal berbau kepedulian terhadap
lingkungan. Berkesempatan mengikuti Workshop Forest Talk With Blogger menjadi
kebahagiaan tersendiri bagiku. Saat itu aku duduk manis di barisan paling
depan. Sesekali memandang ke arah narasumber, sesekali lebih fokus pada gawai
guna mencatat tiap kata penting yang keluar dari pembicara.
Bercerita tentang bumi yang sekarat, Manager Climate
Reality Indonesia Amanda Katili Niode berkisah melalui mikrofon dan slide
yang terbias oleh proyektor. Ia membawa kisah-kisah dari negara yang belum
pernah kusambangi. Mulai dari Amerika yang ketika musim dingin mencapai minus
40’ C kemudian terbang ke kisah Australia dengan suhu mencapai 50’C.
“60 juta orang di dunia terdampak cuaca ekstrim, bisa
dibayangkan betapa dinginnya minus 40’C dan panasnya 50’C,” kata Amanda.
Amanda Katili Niode saat menyampaikan bumi yang semakin sekarat
Otakku tak bisa mengkhayal sampai sedingin dan sepanas itu. Mandi
pagi saja aku merasa kedinginan apa lagi jika suhu mencapai minus puluhan derajat celsius.
Jika di Pekanbaru saja dengan suhu 28’C sudah merasa seperti neraka sedang bocor, mungkin akan sama rasanya dengan dicemplungkan langsung ke neraka jahannam jika suhu mencapai 50'C.
Jika di Pekanbaru saja dengan suhu 28’C sudah merasa seperti neraka sedang bocor, mungkin akan sama rasanya dengan dicemplungkan langsung ke neraka jahannam jika suhu mencapai 50'C.
Banyak hal yang disampaikan Amanda mengetuk hatiku, membuka
pemikiranku terkait kegiatan manusia yang berlebihan, menimbulkan efek rumah
kaca, terjadinya pemanasan global, perubahan iklim dan tentu saja berdampak
pada bencana.
Betapa kejam manusia, demi memenuhi hasratnya manusia
melakukan kegiatan-kegiatan merusak lingkungan. Padahal jika kita menjaga
hutan, menjaga bumi, maka bumi akan menjaga kita. Pun sebaliknya, apabila kita
merusak bumi, cukup sekali batuk, bumi mampu meluluhlantakkan satu benua. Aish,
terkadang aku lupa kalau aku manusia.
Tapi kawan, setiap masalah selalu ada solusi. Amanda tak
hanya membeberkan permasalahan, tetapi juga menunjukkan solusi, yang apabila
dilakukan bersama pasti akan berhasil. Seperti lidi, jika sendiri ia patah,
jika bersama, tak satu orang pun dapat mematahkannya.
Mitigasi dan adaptasi menjadi solusi yang dijelaskan Amanda.
Mitigasi, upaya memperlembat proses perubahan iklim global. Ibaratnya, semua
orang pasti mati, tapi saat sakit kita harus berobat. Untuk apa? Untuk memperlambat
kematian. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi level gas rumah kaca di
atmosfer dan mengurangi emisi dari kegiatan makhluk kasar bernama manusia.
Sedangkan untuk adaptasi, ada banyak cara yang bisa dicoba
untuk memperpanjang usia bumi. Karena itulah manusia diberikan otak untuk
memikirkan cara mengurangi dampak perubahan iklim dan bagaimana agar ketahanan
bumi terhadap perubahan tersebut dapat meningkat.
Salah satu caranya adalah, mulai dengan diri kita sendiri. Setelah
itu ajak orang lain, ajak satu, dua, tiga. Bukan, tak hanya itu kita bisa
mengajak puluhan, ratusan bahkan ribuan orang untuk menyelamatkan bumi. Melakukan
hal yang paling sederhana. Seperti menghemat listrik, pengurangan pemakaian
kantong plastik, menggunakan energi terbarukan, melestarikan kearifan
tradisional dan menyandingkannya dengan teknologi.
Bagaimana caranya?
Pernahkah kamu membaca buku hasil goresan tinta Pramodya
Ananta Toer kawan? Jika belum, akan kuberi tahu kamu kata-kata ajaib Nyai
Ontosoroh. “Tahu kau mengapa aku sayangi kamu lebih dari siapa pun? Karena kau
menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di
kemudian hari.”
Menulislah kawan, ceritakan pada dunia melalui tulisanmu. Ayo
kampanyekan penyelamatan bumi, agar anak-cucu kita terus berkembang biak hingga
ribuan tahun lagi. Selamatkan bumi agar bumi menyelamatkan kita.
Ayo jaga bumi. Aku saat mengikuti kegiatan Forest Talk With Blogger |
Tak bisa kamu menulis kawan? Ada jutaan media sosial yang
terhampar di Play Store. Apa salahnya kamu unggah satu ajakan untuk
menyelamatkan bumi. Setidaknya ada lima dari 100 temanmu yang tergugah melihat
tulisanmu. Tak mampu menulis,kamu bisa ceritakan melalui gambar dan video. Bahkan
kamu tidak perlu repot membuatnya andai kamu terlalu malas. Kamu bisa
membagikan kisah inspiratif menyelamatkan bumi. Karena hidup indah jika kita
tau caranya berbagi. Berbagi tak pernah rugi.
Karena hidup tak melulu tentang galau, cinta dan putus asa. Hidup
adalah tentang saling menjaga, jaga dirimu, jaga keluargamu, jaga hati, jaga
bumi agar kita saling menjaga. Semua untuk apa? Untuk lestari hutanku, hutan
kita bersama. Untuk siapa, untuk bumiku, bumi kita bersama.
Iyaa acaranya seru banget. Kadang kalau udah bahas pemanasan global suka mental kalau ke anak pekanbaru. Biasa ngadepin panas 33 sampe 34 derajat celcius soalnya. Wkwkwkkw
ReplyDeleteSeru pokoknya...
ReplyDeleteGak nyesel menjadi bagian acara forest talk keren ini.
Bisa melihat langsung kegiatan di Desa Batu Gajah.
Jadi untuk mendapatkan bumi yang sehat, bukan sebagai supermarket bencana. Bisa dimulai dari kita dulu, apa yang bisa kita lakukan untuk bumi walaupun itu hal kecil. Seperti nulis gini yakan ? :D
ReplyDelete