Jalan-jalan sambil belajar, siapa sih yang tidak menyukai
kegiatan seperti ini. Bagi aku pribadi, jalan-jalan adalah proses belajar,
mengetahui budaya dan kehidupan masyarakat yang menjadi inspirasi untuk terus
maju.
Usai pemberian materi dari beberapa narasumber kece seperti
Manager Climate Reality Indonesia Dr Amanda Katili Niode tentang perubahan iklim
serta pohon dan ekonomi kreatif. Kemudian dari Tropenbos Indonesia Dr Atiek
Widayati yang menjelaskan tentang pengelolaan hutan lestari. Lalu pemateri yang
menjelaskan terkait Desa Makmur Peduli Api (DMPA) dari Asia Pulp and Paper
(APP), Tahan Manurung.
Awalnya kukira, agenda bernama Forest Talk with Blogger
Pekanbaru yang bertajuk Menuju Pengelolaan Hutan Lestari ini hanya disampaikan
di dalam ruangan. Seperti seminar pada umumnya, duduk, mendengarkan, dan tanya
jawab.
Ternyata, aku salah besar. Siapa sangka, tak hanya diberi
penjelasan terkait DMPA, tapi peserta Forest Talk juga diajak langsung
menuju DMPA yang berada di Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar tepatnya di Desa
Batu Gajah.
Dari Pekanbaru menuju Desa Batu Gajah membutuhkan waktu
lebih kurang tiga jam perjalanan menggunakan bus, melewati Jalan Garuda Sakti
Jalur Petapahan. Sepanjang perjalanan
lebih banyak kuhabiskan waktu untuk makan, minum dan tidur. Aku kerap kali
merasa mual jika menggunakan kendaraan darat tertutup seperti mobil atau bus. Jadi
tidur adalah pilihan terbaik.
Aku terbangun dari tidur ketika bus berbelok dari jalanan
beraspal menuju jalan tanah berwarna kuning dan berdebu. Melewati hamparan
kebun-kebun sawit. Pemandangan yang menurutku biasa saja. Kau tahu kawan, sawit
itu ada dimana-mana terutama di Riau. Setiap mata memandang pasti ada sawit.
Aku ingin kembali terlelap dalam tidur, tetapi kondisi bus
yang terguncang oleh jalanan memaksaku menikmati pemandangan sawit yang biasa. Hingga
melewati portal yang dijaga oleh sekuriti. Masih sawit.
Tapi mataku terbuka lebar ketika perlahan-lawan sawit
menghilang dari pandangan. Di kiri dan kanan pohon-pohon kurus tinggi
menjulang, daunnya melambai-lambai seolah mengucapkan selamat datang pada
rombongan Yayasan Doktor Sjahrir ini.
Tepi jalan |
Aku merasa seolah berada di suatu tempat yang entah dimana. Mualku
terasa hilang berganti perasaan takjub. Andai ku punya kuasa, ingin kusuruh
berhenti sopir bus agar aku bisa berfoto mengabadikan momen indah ini.
Fotonya Travelerian.com (Mbak Kate) |
“Mbak Oci, tempatnya bagus ni kalau dibikin buat prewed,”
kataku pada Mbak Oci yang duduk di sebelahku.
Pohon-pohon tersebut adalah pohon yang biasa digunakan
sebagai bahan dasar kertas. Pohon eukaliptus. Katanya ada dua jenis pohon di
hutan-hutan yang kami lewati, selain eukaliptus juga ada pohon akasia.
Hutan tersebut ternyata milik perusahaan kertas APP
Sinarmas. Terdapat pohon-pohon yang sudah tinggi, ada yang masih anak-anak dan
ada yang masih balita, serta ada yang baru digundul.
Pohon-pohon dewasa, siap ditebang sebelum masuk ke pabrik. Setelah
itu lahan akan ditanam kembali dengan pohon yang sama. Secara bergiliran setiap
lahan ditanam dan ditebang, ditanam lagi, ditebang lagi, ditanam lagi begitu
seterusnya secara bergiliran. Ada banyak pohon-pohon balita setinggi lutut
orang dewasa yang diberi tanda dengan pita-pita.
Hampir 23 km jauhnya dari jalanan beraspal menuju Desa Batu
Gajah. Tanpa melewati satu pun rumah, atau kedai kecil atau pun bengkel. Tak bisa
kubayangkan andai aku sedang asik megendarai motor melewati hutan-hutan
eukaliptus kemudian banku tiba-tiba bocor. Untung saja aku naik bus. Hahaha.
Sesampainya di Desa Batu Gajah, kami diberi sambutan yang
hangat dari penduduk setempat. Panitia dari Yayasan Doktor Sjahrir membagikan
makanan yang dibawa dari Pekanbaru. Kendati demikian penduduk setempat juga
membagikan makanan yang tak bisa dibilang ringan sebagai makanan cemilan. Seperti
jagung rebus, ubi goreng, dan lain-lain. Ingin rasanya aku membawa pulang untuk
makan di rumah. Tapi sudahlah, harus jaga image.
Desa Batu Gajah adalah salah satu DMPA binaan APP Sinarmas.
DMPA adalah desa yang dibina agar masyarakatnya tidak lagi bergantung pada
sawit. Dimana masyarakat dahulu menggantungkan hidupnya pada kebun sawit dan
cenderung membuka lahan dengan cara pembakaran yang mengakibatkan bencana yang
lebih besar dan asap yang meracuni pernapasan manusia.
Program ini juga menyalurkan pelatihan dan modal ke
setiap desa-desa yang dijadikan DMPA. Dengan suksesnya DMPA diharapkan
masyarakat tidak lagi tertarik membuka lahan baru untuk sawit, serta mewujudkan
pengelolaan hutan yang bertanggung jawab.
Nah di Desa Batu Gajah terdapat beberapa
program-program yang dilaksanakan sebagai DMPA. Seperti ternak sapi,
hortikultura dan bantuan untuk nelayan.
Saat itu, ibu-ibu Desa Batu Gajah sempat menampilkan demo
masak yang menghasilkan produk-produk yang ternyata mampu membantu ekonomi
masyarakat Batu Gajah. Produk-produk tersebut berupa produk makanan. Seperti keripik
pisang dan tempe yang digoreng kering.
Meletup-letup minyak dikuali, tapi ibu-ibu tersebut tetap
santai menggoreng tanpa rasa khawatir. Keripik pisangnya tebal dan panjang. Lupa
kutanyakan jenis pisang apa. Ketika digigit rasanya renyah dan tentu saja enak.
Produk ini memanfaatkan hasil olahan dari alam dan proses produksi yang ramah
lingkungan.
Tak hanya itu saja, Ibu Amanda juga sudah menjelaskan
terkait penggunaan pewarna alam untuk mewarnai. Nah di Desa Batu Gajah hal ini
juga diterapkan oleh pengrajin tudung saji. Tudung saji dari Desa Batu Gajah
terbuat dari olahan bambu. Bentuknya seperti caping, awalnya kukira caping. Setelah
ia menjelaskan baru aku mengerti jika itu adalah tudung saji untuk menyimpan
makanan dan menjaga makanan dari lirikan kucing oren.
Proses gambarisasi pakai tinta alami |
Pewarna alami tersebut adalah tinta berwarna hitam. Dibuat dari
jelaga. Tahu kan, biasanya lampu oblek, dimar, atau pelita, atau lampu togok
atau apa pun itu namanya jika dihidupkan sepanjang malam, akan meninggalkan
karbon berwarna hitam yang disebut jelaga.
Tudung saji |
Jelaga tersebut dicampur dengan getah dari kulit jeruk
nipis. Kemudian baru digunakan untuk mewarnai tudung saji dengan motif-motif
agar lebih menarik.
Tudung saji ini juga dijual dan membantu perekonomian
masyarakat. Di waktu-waktu tertentu, seperti lebaran. Tudung saji akan sangat
laris dijual bahkan dipasarkan hingga ke luar negeri. Mantul.
Tak sampai di situ, di Desa yang dikenal sebagai pemasok
cabai terbesar ini, kami juga diajak mengunjungi peternakan sapi. Sapi-sapi
tersebut adalah sapi bantuan. Awalnya hanya terdapat enam ekor sapi pada tahun
2016. Tahun ini, jumlah sapi di peternakan tersebut telah beranak-pinak dan mencapai
20 ekor sapi. Luar biasa.
Peternakan sapi |
Usai mengunjungi peternakan tiba saatnya untuk pulang. Sedih
rasanya, padahal masyarakat setempat bersiap mengantarkankan kami menuju
persinggahan berikutnya di Desa Batu Gajah. Karena waktu tak mendukung, kami
harus segera bersiap kembali ke Pekanbaru.
Lagi, melewati hutan eukaliptus, akasia dan sawit. Sebelum akhirnya
roda-roda bus menyentuh aspal halus dan
mengantarkanku ke Pulau Kapuk (tidur).
Pengalaman luar biasa, bersama orang-orang luar biasa, di
tempat luar biasa dan mendapatkan ilmu yang luar biasa. Terimakasih Yayasan
Doktor Sjahrir.
Foto bareng |
Weeeh jadi pengen kesana, seru kayaknyaaa
ReplyDeletePohon pas waktu keluar dari kebun sawit. Pohon apaan tuh jenisnya?. Apakah jenis pohon yang bisa mematikan listrik hampir seluruh Jawa. Vlognya ditunggu juga.
ReplyDelete