Pintu masuk Tamansari |
Usai dari jalan-jalan keliling Yogyakarta, mulai dari Alun-alun Kidul, Malioboro, hingga Prambanan, tulisan ini menjadi part terakhir dalam rangkaian family gathering Anak Ibu Keponakan (tanpa ibu) di Jogja.
Baca juga: Keliling Jogja Part 1: Alun-alun Kidul Yogyakarta
Setelah dari Prambanan, salah dzuhur, dan makan siang, kami
beristirahat sejenak di sebuah masjid tak jauh dari Candi Prambanan. Menjadi
sebuah kesalahan bagi kami, karena memilih menunggu azan asar sebelum bertolak.
Baca juga: Keliling Jogja Part 2: Candi Prambanan
Padahal, kami bisa salat asar ketika sudah sampai di Tamansari.
Jujur, kami tidak melihat jadwal buka Tamansari. Jarak dari Prambanan ke
Tamansari juga memakan waktu sekitar 30 menit.
Karena kami bertolak setelah salah asar, otomatis sampai di Tamansari
waktu menunjukkan sekitar 15.30 WIB. Sedangkan Tamansari hanya buka hingga
pukul 15.00 WIB.
Sampai di Tamansari kami memarkirkan sepeda motor, meskipun
tidak bisa masuk ke area utama Tamansari, diajak berkeliling untuk melihat
peninggalan-peninggalan Sultan Jogja lainnya yang masih bisa dilihat.
Membersamai kami, seorang pemandu paruh baya bernama Pak
Albertus menjelaskan terkait Tamansari dan sisi lain dari Tamansari yang tak kalah menarik untuk dijelajahi.
Area-area yang ditunjukkan oleh Pak Albertus yaitu area
dapur, tempat makan sultan, tempat bersantai sultan, sumur, dan lain-lain. Aku
belum pernah masuk ke area utama tempat
wisata Tamansari, jadi untuk perbandingan aku belum bisa menjelaskan lebih
lanjut.
Selain dipandu, kita juga dibolehkan jika ingin berjalan
sendiri. Tinggal mengatakan dengan sopan bahwa ingin berjalan-jalan sendiri
tanpa dipandu.
Area Tamansari yang kami kunjungi yaitu berada di antara
rumah-rumah warga yang kata Pak Albertus masih milik dari abdi dalem Kesultanan
Yogyakarta.
Dari samping gerbang Tamansari kita berjalan lurus dan masuk ke jalan yang rapat oleh rumah-rumah warga. Terlebih dahulu kita akan melalui sebuah gerbang yang tidak terlalu tinggi dan bisa disentuh bahkan tanpa berjinjit.
Pak Albertus menuturkan, dibuatnya gerbang rendah seperti itu bukan tanpa maksud, melainkan agar pengunjung yang masuk menunduk dan memberikan hormat. Kulihat Pak Albertus komat-kamit sembari mengucapkan kalimat permisi untuk masuk ke kawasan tersebut.
Kemudian kita akan melewati tembok tinggi dengan terowongan
di tenga-tengahnya yang disebut Gerbang Carik. Tulisan Gerbang Carik berwarna biru tersebut sendiri
sudah mulai memudar termakan waktu.
Menuju Gerbang Carik di Kompleks Tamansari Jogja |
Menurut Pak Albertus, Carik adalah sebutan untuk juru tulis atau sekretaris, yaitu seseorang yang mengetahui berbagai hal milik kesultanan bahkan hingga hal yang paling rahasia sekalipun.
Tamansari Jogja |
Selanjutnya, kami diajak berkeliling dan menuju ke Gedong Madaran. Pak Albertus mengatakan jika Gedong Madaran dulunya berfungsi sebagai dapur tempat memasak makanan bagi keluarga raja.
Kemudian, kami terus berjalan hingga sampai di sebuah sumur dengan air yang sangat jernih di dalamnya. Terdapat puluhan koin-koin berwarna perak dan emas di sumur tersebut.
Konon katanya, jika melemparkan sebuah koin dan mengucapkan
permintaan, maka akan terkabulkan. Tapi berdoanya jangan pada sumur, tetap
berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa yaa.
Sumur di Tamansari |
Pak Albertus kemudian mengajak kami berjalan menuju Pasarean Ledoksari yang bangunannya menurutuku hampir seperti di drama saeguk Korea. Pasarean Ledoksari dahulunya merupakan tempat raja beristirahat saat berkunjung ke kompleks Tamansari.
Katanya lagi, Ledoksari adalah bangunan pertama yang
didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I di Kompleks Tamansari.
Ledoksari |
Satu hal lagi yang menurutku menarik terkait sosok dari Pak
Albertus ini. Ia seolah-olah bisa menerawang siapa diri kita dan seperti apa
kita di masa yang akan datang. Bisa dikatakan antara fakta dengan ramalan.
Tentu saja ramalannya tentang hal-hal yang baik-baik saja.
Saat pertama kali masuk dan sebelum mengajak kami
berkeliling, Pak Albertus tiba-tiba menebak siapa diri kita meskipun tidak 100
persen benar, tapi kebanyakan adalah benar.
Rani misalnya, Pak Albertus mengatakan jika Rani adalah
mahasiswa kesehatan. Kemudian Asna, dikatakan berasal jurusan berlatar belakang
pendidikan.
Mendengar hal tersebut, sontak kami saling pandang
seolah-olah mengatakan "Bagaimana Bapak ini bisa mengetahui siapa diri
kami, padahal belum terlalu banyak mengobrol".
Kendati demikian, Pak Albertus tidak mengatakan apa-apa
tentangku, ia hanya mengatakan jika di masa depan aku bisa menjadi orang hebat
bahkan bisa menjadi menteri jika ingin.
Akupun mengiyakan dan mengaminkan, toh kata-katanya juga
bukan suat hal yang buruk untuk diaminkan.
Ia juga menuturkan jika kami adalah orang-orang yang tulus
dan jujur dalam menjalankan hidup. Bahkan ia juga mengungkapkan bahwa aku sangat
cocok menjadi ustazah.
Itulah sekilas perjalanan kami berkeliling Tamansari, meski
bukan melihat-lihat ke bangunan utama, tapi ada banyak hal baru yang bisa
dipelajari.
Pak Albertus juga bersedia mengabadikan momen-momen kita di Tamansari dan hasil fotonya lumayan ciamik.
Tamansari Jogja |
Usai berkeliling dan kembali ke parkiran motor, kami pun berpamitan dengan Pak Albertus serta memberikan uang jasa seikhlasnya untuk beliau.
Inilah akhir cerita Keliling Jogja seharian. Lah kan 2 hari, kenapa dikatakan seharian. Sehari kan ada 24 jam, dimulai dengan sore dan berakhir dengan sore.
Setelah dari Tamansari kami kembali ke penginapan untuk mengambil barang yang sudah dititipkan sebelum checkout. Selanjutnya, mengembalikan sepeda motor, lalu duduk santai menikmati es krim dengan pemandangan kereta yang melintas sebelum akhirnya menuju ke Stasiun Tugu Yogyakarta untuk pulang ke habitat masing-masing. Tinggalah Rani seorang diri di Kota Pelajar dengan beragam wisatanya.
Sampai jumpa di tulisan-tulisanku selanjutnya. Jangan pernah bosan untuk membaca, biarkan aku secara lengkap menceritakan kisah yang jarang kusampaikan secara lisan.
0 komentar: