Akhirnya aku berkesempatan lagi mengunjungi Kota Yogyakarta atau kerap disingkat menjadi Jogja, YK, dan DIY. Kali ini merupakan rangkaian dari family gathering Anak Ibu Keponakan yang sebelumnya dilakukan di Kota Malang, Jawa Timur.
Baca Juga: Santerra de Laponte
Perbedaan dari sebelumnya, keliling Jogja ini yaitu bersama Anak Ibu Keponakan (tanpa ibu). Aku berangkat dari Kota Solo menggunakan KRL, kakakku Asna dan sepupuku Rani berangkat dari Ponorogo mengendarai sepeda motor, dan kami berjanji untuk bertemu di Jogja.
Meskipun Rani kuliah di Jogja tetapi ia tinggal di asrama kampusnya, jadi karena tidak ada saudara atau teman untuk menginap gratis, kami memilih salah satu penginapan yang lokasinya tidak jauh dari pusat kota.
Kami pun menyewa satu sepeda motor di sekitar kampus Rani. Lumayan sangat murah, barangkali karena sewa sepeda motor ini khusus mahasiswa jadi kami bisa mendapatkan harga miring. Sebelumnya, aku pernah menyewa sepeda motor dengan harga Rp75 ribu per hari. Namun, di penyewaan ini hanya sekitar Rp40 atau Rp50 ribu per harinya.
Nama tempatnya adalah Sri Rental Montor Khusus Mahasiswa yang berada di Sumberan RT 10 Ngestiharjo, Kasihan, Bantul (0856 4334 8118/0851 5616 0240). Cukup menyerahkan dua tanda pengenal sudah bisa menyewa sepeda motor di sini. Namun, aku tidak memastikan apakah bisa disewa oleh wisatawan atau tidak, barangkali jika Kamu mahasiswa bisa coba untuk menanyakannya terlebih dahulu, tetapi jaraknya agak jauh dari Stasiun Yogyakarta.
Baca Juga: Tips Sewa Sepeda Motor
Aku sampai di Jogja hampir pukul 5 sore, dijemput oleh Rani dan langsung merental sepeda motor, kemudian menuju ke penginapan.
Alun-alun Kidul (Alkid) Yogyakarta
Awalnya aku bingung karena Rani dan Asna menyebut-nyebut Alkid, Alkid, dan Alkid. Sependengaran dan sepenangkapanku bukan Alkid tapi all kid. Ternyata Alkid adalah singkatan dari Alun-alun Kidul. Maafkan aku yang norak ini.
Alun-alun Kidul adalah halaman belakang Keraton Yogyakarta, berupa tanah lapang luas berpasir yang ditumbuhi rerumputan dengan luas sekitar 160 m x 160 m. Di sekeliling alun-alun terdapat pagar tembok batu yang tingginya 2,2 m.
Tidak mau kehilangan momen di Jogja, setelah maghrib kami langsung beranjak dan menuju ke Alun-alun Kidul. Saat itu adalah akhir pekan dan masih minggu pertama di bulan Januari. Jalanan sangat padat dengan masyarakat, aku pun tidak tahu apakah itu wisatawan luar daerah atau warga lokal. Semuanya terlihat sama.
Pelan tapi pasti, kami mencari tempat parkir paling strategis dan kosong, banyaknya manusia di Alun-alun Kidul sempat membuat kami kesulitan mendapatkan tempat untuk parkir. Namun, usaha tentu berbuahkan hasil Kawan.
Ada banyak hal yang bisa dilakukan di Alun-alun Kidul, terutama kulineran. Rani sudah mengincar pokat kocok sedari sebelum berangkat tadi. Harga-harga jajanan di Alun-alun Kidul juga tidak jauh berbeda dari pusat-pusat keramaian serupa.
Sebelum mencari lokasi sempurna untuk duduk, kami terlebih dahulu berburu makanan dan minuman sebagai teman bersantai nanti. Selain pokat kocok, kami membeli baby crabs, telur gulung, dan lain-lain.
Kulineran di Alun-alun Kidul Jogja |
Puas berburu kuliner, kamu menuju tanah lapang dan mencari lokasi paling enak untuk duduk. Sangat banyak orang di lapangan tersebut, duduk beralaskan rumput sembari bercengkerama menikmati makanan ringan atau sekadar mengobrol saja.
Anak Ibu Keponakan (tanpa ibu) family |
Di tanah lapang ini ada sepasang pohon beringin yang sangat besar dan tua. Konon katanya, jika berhasil lewat di antara dua pohon beringin tersebut dari jarak 20 meter dengan menutup mata maka itu adalah manusia berhati bersih dan lurus. Nama permainan ini adalah masangin. Tapi aku tidak ingin mencobanya.
Mengeliling tanah lapang di Alun-alun Kidul ini ada banyak sekali odong-odong dan sepeda tandem dengan lampunya kelap-kelip berwarna-warni. Selain hanya duduk di tanah lapang, sepertinya gowes dengan kendaraan tersebut bisa menjadi cara menyenangkan untuk menghabiskan waktu.
Malioboro Yogyakarta
Puas menikmati di Alun-alun Kidul Jogja, kami memutuskan untuk berkunjung ke destinasi yang sangat populer di Kota Yogyakarta. Apalagi kalau bukan Malioboro.
Biasanya, aku jalan-jalan ke Malioboro selalu jalan kaki dari Stasiun Yogyakarta hingga ke Titik Nol KM, kemudian ke Jalan Pangurakan, lalu ke Alun-alun Utara. Namun, karena mengendarai sepeda motor, kami sangat bingung di mana harus memarkirkan kendaraan, bahkan harus berputar-putar tak tentu arah saking tidak tahunya, dan melewati Titik 0 KM Yogyakarta bahkan sampai dua kali.
Itulah akibat dari menyepelekan kata pepatah Malu Bertanya Sesat di Jalan. Akhirnya kami mendapatkan lokasi parkir di depan Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta tak jauh dari Jalan Pangurakan. Padahal jika jeli ada banyak lokasi parkir yang bisa menjadi pilihan.
Sayang sekali, malam itu Jogja sedang sedih. Tetesan-tetesan air dari langit turun ke bumi, gerimis hingga deras dan membuat orang-orang berlarian mencari tempat berteduh. Pun kami, menunggu hujan reda cukup lama dan tidak bisa mengeksplorasi Malioboro secara utuh.
Memang benar lirik lagu Adhitia Sofyan berjudul Sesuatu di Jogja. "Ku percaya selalu ada sesuatu di Jogja". Ada saja cerita menarik di Kota Pelajar ini.
Lama menunggu hujan yang tak kunjung reda hingga hampir tengah malam. Kami pun menembus hujan. Besoknya masih ada destinasi yang akan kami kunjungi. Sepatu hanya satu dan kuputuskan untuk memasukkannya ke dalam bagasi sepeda motor dan nyeker sepanjang perjalanan kembali ke penginapan.
Sampai jumpa di ceritaku selanjutnya, masih tentang Jogja. Part 2!
0 komentar: