Kampar, lagi-lagi membuatku terkagum-kagum. Apalagi kalau bukan karena air terjunnya?. Dari semua air terjun di Kampar yang pernah ku kunjungi, Koboko lah yang menawarkan sensasi perjalanan yang seru.
Sekitar pukul delapan kami bertolak dari Pekanbaru menuju lokasi, tak lupa aku mengencangkan helmku dan duduk manis di dudukan penumpang. Tiga jam perjalanan diiringi gerimis mengundang mewarnai perjalanan yang panjang dan berliku.
"Selamat Datang di Air Terjun Koboko," Air Terjun Koboko ini terletak di Kecamatan Kampar Kiri tepatnya di Desa Lipatkain Selatan. Spanduk selamat datang sumringah menyambut kami ketika kami tiba di sana, sebelum masuk lebih jauh ke lokasi, terlebih dulu kami singgah di salah satu tambak ikan rekan temanku. Di situ kami menitipkan helm, baju ganti, motor dan sepatu agar tidak memberatkan perjalanan. Seperti air terjun pada umumnya, perjalanan pasti diawali dengan pendakian.
Berganti dengan sendal jepit, aku melangkahkan kakiku di tanah becek bewarna kuning, ya memang kala itu cuaca tidak terlalu mendukung. Satu hal yang ku sesalkan adalah meninggalkan motor di tempat kawannya kawanku. Kau tau kenapa? Ternyata perjalanan dari rumah dia hingga posko masuk bisa ditempuh dengan motor, dan sama sekali tidak selicin yang dikatakan. Ya sudahlah jalani saja, pikirku.
Cukup membayar lima ribu rupiah kami diizinkan masuk.
"Cuma tiga kali tanjakan dek," kata petugas.
Pernahkah kuceritakan padamu kawan? Meski aku lebih suka mendaki dari pada turunan, tapi aku tetap termasuk lamban. Seperti biasa aku selalu berada dipaling belakang, tapi tak pernah kusesalkan karena stok air semua ada padaku. Aku hanya tertawa picik.
Jalanan mulai menanjak, dengan terengah engah aku memantapkan langkahku. Pupus hatiku kala mendengar ketika temanku mengatakan. "Semangat wey, ini belum tanjakan pertama."
"Gilak," pikirku.
Untung saja, bukit-bukit indah di kanan kiri berhasil memanjakan mata kami ketika dalam perjalanan, dari kejauhan tampak sebuah bukit yang ditanami sawit yang belum tinggi.
Tibalah kami di sebuah pohon yang memiliki tanda panah ke bawah. (Tanda ini tertanda Sispala atau Siswa Pencinta Alam, sepertinya Mapala belum datang ke sini). Ku longokkan kepalaku mengintip ke bawah. Waw, tak mungkin perjalanan dilanjutkan lewat jurang ini, pikirku. Bayangkan, turunan tersebut memiliki kemiringan lebihh dari 45 derajat, ditambah gerimis sedari tadi dan pastinya licin. Di situ ada jalan ke atas, tetapi tanda menunjuk ke bawah. Dilema kami menentukan manakah jalan yang benar.
Berdasarkan pengalaman temanku yang dulu pernah ke koboko, ia mengatakan dengan ragu-ragu kalau jalan memang lewat turunan ini. Akhirnya kami memutuskan untuk mengikuti tanda.
Gemericik air terdengar ketika kami melangkahkan kaki menuruni jurang curam ini. Tak pelak beberapa dari kami terpeleset saking licinnya. Aku pun mencengkeram rumput-rumput atau pohon-pohon dalam jangkauan tanganku, tak mau kubanyangkan diriku menggelinding ke bawah.
Sesampainya di bawah, perjalanan dilanjutkan dengan turunan-turunan. Tak ada lagi tanjakan seperti sebelum kami turun tadi, ditambah lagi dengan air yang mengalir di sela-sela kaki kami. Segar kurasakan, napas tak lagi terengah-engah. Kami berjalan seperti menyusuri aliran sungai dengan riak-riaknya yang manja. Tak menyesal kutinggalkan sepatu dan menggantinya dengan sendal jepit.
Bak sebuah game, aliran air yang kami lewati memiliki level yang semakin lama semakin sulit, awalnya hanya melewati genangan air, lalu melalui titian kayu-kayu yang disusun jarang seperti tangga yang direbahkan. Hanya saja sudah rusak dan lapuk.
Semakin jauh kami melangkah aliran air pun semakin besar. Dan melewati turunan yang cukup terjal, air yang melewati bebatuan berlumut kami lewati bersama-sama, bergantian saling berpegang agar tidak jatuh. Sesekali aku melepaskan sendalku agar tidak licin. Bahkan sendalku sempat hanyut terbawa derasnya air. Karena itu sendal pinjaman tentu saja aku tak boleh kehilangan dia. Wkwkwk.
Di turunan lainnya ada sebuah tali untuk berpegang, bahkan kami melewati sebuah batang yang dijadikan titian berdiameter kira-kira 15 cm, lagi-lagi aku melepas sendalku agar tak terpeleset, karena sungai di bawah kami sangat tenang dan terlihat dalam. Tahukah kau kawan? Kau harus berhati-hati dengan air yang tenang, karena kau tak tau ada apa di dalamnya.
Gemuruh air jatuh dari ketinggian terdengar sayup-sayup di telinga kami, bergegas kami menuju ke sana. Lagi kami harus melewati kali atau sungai yang tak dalam tapi cukup kuat arusnya.
Perjalanan kali ini memberikan sensasi yang luar biasa apalagi bagi yang suka menantang adrenalinnya. Datanglah dan buktikan sendiri.
0 komentar: