Oleh: Mujawaroh Annafi
Judul : Pasung Jiwa
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 328 hlm; 20 cm
Cetakan : Pertama, Mei 2013
ISBN : 978-979-22-9669-3
Seluruh hidupku adalah perangkap.
Tubuh adalah perangkap pertamaku. Lalu orang tua, dan semua orang yang kukenal.
Kemudian segalah hal yang kuketahui serta segala sesuatu yang kulakukan
-Sasana-
Hidup
terkungkung dengan sejuta aturan keluarga dan adat serta norma yang berlaku di
masyarakat membuat hidup Sasana berjalan sebagaimana yang keluarganya inginkan.
Terlahir dari ayah seorang pengacara dan ibu seorang dokter Sasana harus
menjadi sosok yang membanggakan keluarga. Sedari ia di dalam kandungan hingga
ia beranjak remaja kedua orang tuanya telah mengenalkan kepadanya benda legenda
di keluarganya, Piano.
Yang
Sasana tahu hanyalah ia harus membuat bangga kedua orang tuanya, berlatih
memainkan tuts-tuts piano membuat ia menjadi pianis hebat yang menyabet
berbagai penghargaan dan menjadi siswa berprestasi di sekolah. Kendati demikian
Sasana tak pernah mencintai apa yang ia lakukan, ia hanya menuruti kehendak
kedua orang tuanya. Hingga suatu hari ia mendengarkan sebuah irama yang membuat
jiwa dan raganya bergoyang mengikuti lantunan lagu, tak lain tak bukan,
Dangdut.
Sejak
saat itu kecintaannya dengan dangdut semakin menjadi-jadi hingga kedua orang
tuanya menjauhkan Sasana dari segala hal yang berbau dangdut. Hal ini membuat
Sasana berpikir, jika orang tuanya tak mengindahkan kemauannya maka ia juga tak
ingin lagi bermain piano seperti keinginan orang tuanya.
Sasana
menginjak usia remaja, ia tak terlihat seperti lelaki pada umumnya. Ia begitu
iri melihat lekuk tubuh adik perempuan kesayangannya, ia ingin memilikinya
membayangkan dirinya memakai pakaian yang indah seperti yag dipakai sang adik
dan berbagai hal yang dilakukan dan dimiliki adiknya, pernah suatu ketika
Sasana menggambar sebagai tugas sekolah dengan objek manusia, Sasana
menggambarkan tubuh perempuan telanjang, meski tak sempurna dan tak bisa
dikatakan bagus, semua orang tahu bahwa yang digambarkannya adalah tubuh
telanjang seorang wanita. Tak pelak orang tua Sasana harus menghadap kepala
sekolah karena kejadian ini.
Masuk
ke masa Sekolah Menengah Atas (SMA), ayah Sasana memasukkan dia ke sekolah
khusus laki-laki, di sini ia tak diperlakukan sebagaimana manusia. Jabatan dan
kekuasaan di atas segala-galanya, Sasana dibulli habis-habisan oleh
teman-temannya hingga akhirnya ia terpaksa dipindahkan ke sekolah biasa yang
banyak perempuannya.
Kuliah
di Malang, jauh dari orang tua di Jakarta membuat Sasana merasakan kebebasan
yang selalu ia idam-idamkan, memanjangkan rambut, berbedak, bernyanyi,
bergoyang dengan irama dangdut tak ada lagi yang melarang. Hingga ia berjumpa
dengan Jaka Wani, yang membawa Sasana menemukan dirinya yang lain bernama Sasa.
Hengkang
dari dunia perkuliahan, Sasana yang acap kali dipanggil Sasa bersama Jaka Wani
atau Cak Jek mulai mengamen setiap malam, mengais rezeki dari tiap lagu yang
dinyanyikan, dengan penampilan baru Sasa yang menggoda setiap manusia yang
memandang.
Kendati
demikian, perjalanan tak semulus yang diidamkan, Jaka Wani bersama Sasa
menyuarakan keadilan dengan berani terkait hilangnya buruh pabrik yang juga
anak dari orang terdekat Sasa dan Cak Jek. Tak pernah terpikir oleh mereka ini
akan memberikan trauma mendalam bagi Sasa.
Sasa
ditangkap oleh aparat negara, disiksa tanpa dimintai keterangan, mereka hanya
tau menyiksa dan menyiksa, keadilan dikesampingkan. Tak cukup di siksa Sasa
juga mendapatkan kekerasan s3ksual selama berminggu-minggu dikurung yang
membuat Sasa hilang kewarasan.
Novel
ini juga mengisahkan kehidupan Cak Jek setelah ditangkap, menjadi robot di
pabrik dan bekerja seadanya, menjadi bagian di dunia gelap, menyuarakan suara
yang teredam dibalik megahnya kota Batam, hingga ia menjadi bagian dari
organisasi masyarakat yang berkerja untuk membela Tuhan.
Apa yang Cak Jek dan Sasa cari adalah kebebasan. Tapi
bebas dari belenggu kekuasaan, hukum, kungkungan tradisi, agama, persoalan ekonomi
dan keluarga pun belum tentu dapat dijadikan landasan kemenangan atas
kebebasan. Justru kemerdekaan atas kungkungan tubuh dan pikiran setiap manusia
yang berbeda inilah yang dapat dijadikan sebagai puncak kebebasan manusia.
Okky
Madasari, penulis novel ini menghadapkan tokoh-tokohnya pada perangkap di luar
diri mereka seperti agama, gender,
aturan, dan pandangan masyarakat. Selain itu novel ini juga berisi protes
tentang manusia-manusia yang dipandang sebelah mata, mereka yang memasung diri
dengan ikatan pandangan masyarakat, mereka yang hidup di balik gemerlap
kehidupan kota-kota besar, mereka yang berpangkat dan semena-mena, mereka yang
bersorban mengatasnamakan Tuhan dan membela Tuhan ternyata tak seputih sorban
yang dikenakan.
Novel
ini membawa pembaca melihat dari sudut pandang mereka yang tersingkirkan, yaitu
sudut pandang orang-orang yang ada tapi tak didengar. Okky tak memanjakan
pembaca dengan kisah bahagia, tapi Okky membawa
pembaca larut dalam rasa penasaran, merasakan perjuangan mencari kebebasan, perjuangan
memperoleh keadilan, dan perjuangan menjadi diri sendiri.
0 komentar: