“Iya Naf, bawakan kami kopi Toraja.”
Sofi dan Ade mengomporiku untuk mengikuti Workshop
Jurnalisme Keberagaman yang diadakan oleh Serikat Jurnalisme Keberagaman
(Sejuk). Mereka berdua memang sudah menjadi alumni workshop yang diadakan oleh
Sejuk.
Awalnya aku sangat ingin ikut workshop di Makassar, tetapi
setelah melihat jadwal di Makassar aku mengurungkan diri untuk mendaftar karena
bertepatan dengan pernikahan kakakku yang pertama. Untung saja workshop
jurnalisme keberagaman ini juga akan diadakan di Semarang yang tanggal
keberangkatannya pas tanpa terbentur suatu apapun.
Persyaratan untuk bergabung dengan agenda yang diadakan tiga
kali setahun ini adalah menulis artikel/esai/resensi/liputan yang berkaitan
dengan isu-isu keberagaman, peserta juga harus anggota pers mahasiswa.
Awalnya aku bingung menulis tulisan untuk syarat mendaftar,
pemberitaan terkait isu-isu keberagaman yang pernah kutulis juga minim. Awalnya
aku berniat untuk menulis esai, membaca buku dan berselancar di internet untuk
mendapatkan referensi dan inspirasi, di pertengahan tulisan jari-jariku
berhenti menari. Ya aku ngeblenk.
Pusing ingin menuliskan apa, iseng-iseng aku mengambil
sebuah buku yang tergeletak sekenanya di meja sekre, kulihat covernya ternyata
sebuah novel. Ternyata buku tersebut milik Bagus dan langsung kupinjam. Pertama
membaca aku berpikir akan segera bosan dan tertidur lelap dengan buku di
samping kananku, tetapi ternyata tidak. Lembar demi lembar tak terasa hingga
lembaran terakhir.
Beberapa hari kemudian, muncul ide yang tiba-tiba terlintas
di kepalaku, Novel yang aku baca adalah karangan Okky Madasari yang berjudul
Pasung Jiwa, berisi tentang dunia minoritas yang diambil dari sudut pandang
mereka yang tak pernah dianggap, mereka yang keberadaannya dipandang seperti
sampah.
Setelah menunggu sekian lama dengan harap-harap cemas setiap
harinya akhirnya tiba hari pengumuman. Aku mendapatkan info dari Ade dan Sofi
ditambahi ucapan selamat. Aku tersenyum sendiri tanpa mengatakan apapun,
bagaimana tidak? Aku yang tinggal di Pulau Sumatra ini akhirnya bisa
menjajakkan kaki di Tanah Jawa lagi.
25 November aku terbang ke Semarang. Pertama kalinya naik
burung besi, aku banyak mendapatkan cie cie dari teman-temanku yang iri dengan
keberuntunganku di penghujung masa kuliah.
Jajak Tanah Semarang
Aku tiba di Bandara Ahmad Yani Semarang setelah sebelumnya
transit di Bandara Soekarno Hatta Jakarta. Pergi bersama dengan Nia dari
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Aklamasi Universitas Islam Riau (UIR). Ia lebih
berpengalaman bepergian menggunakan pesawat dari pada aku, sepanjang perjalanan
dari Riau aku hanya mengikuti dan memperhatikan dia, karena pulangnya aku pasti
akan sendiri.
Ku beritahu kawan, workshop yang kami ikuti ini memberikan
fasilitas tiket berangkat dan pulang secara gratis, dan yang lebih asiknya
peserta boleh memilih sendiri jadwal kepulangan, dengan syarat harus tiba di
Semarang dan pulang dari Semarang. Nia memilih tanggal 1 September, sedangkan
aku tanggal 5 September, aku berencana mengunjungi keluargaku di Jawa Timur
setelah acara.
Aku beruntung duduk di dekat jendela pesawat, ketika hendak landing,
sejauh mata memandang hanyalah laut, beberapa menit kemudian baru kulihat
daratan hijau yang mempesona. Tidak ada yang menjemput kami di bandara, kami
tiak berniat naik taksi karena kau pasti paham bagaimana kondisi keuangan
mahasiswa, mau pesan ojek online pasti tidak mudah karena titik jemput dari
bandara. Akhirnya kami memutuskan untuk naik bus transmetro, kalau di Semarang namanya Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang,
hanya membayar Rp. 3.000,-.
Sebelum naik bus, kami berjumpa dengan peserta workshop asal
Kalimantan, Adi namanya. Akhirnya kami naik BRT bersama-sama menuju LPM
Justisia kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo yang menjadi panitia
lokal workshop. Di dalam BRT beberapa orang memandangi kami yang membawa koper
besar ketika naik bus, beberapa diantaranya bertanya tentang asal kami dan
hendak pergi kemana, ada yang mengira kami pulang kampung ke Semarang.
BRT Trans Semarang sedikit berbeda dengan Transmetro
Pekanbaru (TMP). Di BRT tempat duduk dibagi dua, bagian depan untuk laki-laki
dan bagian belakang untuk perempuan, jadi laki-laki dan perempuan dipisah meski
tidak ada sekatnya, meskipun tempat duduk perempuan masih banyak kosong dan
tempat duduk laki-laki sudah penuh, para laki-laki sepertinya tidak akan duduk
di tempat perempuan. Sangat berbeda dengan TMP, laki-laki perempuan sama saja.
Karena kami tidak pernah ke Semarang sebelumnya tentu saja
tidak tahu bagaimana, dimana transit dan letak pasti kampus tujuan kami. Ketika
kami mengatakan ke UIN Walisongo, kernetnya bertanya apakah di Kampus I atau
II? Kami hanya terdiam sambil beradu pandang.
Setelah berganti bus kami tidak dapat tempat duduk dan harus
berdiri, untung ada ibu-ibu baik hati yang menawarkan pangkuannya sebagai
tempat koper kami. Bukan kami yang berdiri, aku mendapat tempat duduk, sedang
Nia harus bersabar menahan goncangan karena berdiri.
Kembali kami ditanya mau ke Kampus I atau II, karena belum
mendapat balasan dari tuan rumah, kami memutuskan untuk berhenti di halte
Kampus II, BRT sangat penuh dan menyulitkan kami untuk keluar, belum sempat
kami meraih pintu, BRT kembali berjalan. Adi sudah turun duluan dan tinggalah
kami berdua menunggu berhenti di halte selanjutnya dan memesan Grab.
LPM Justisia
Kami tiba di LPM Justisia dan disambut hangat oleh krunya,
sambil berbasa-basi kami berkenalan dan berbicang-bincang terkait kelembagaan
di UIN Walisongo. Justisia sendiri adalah LPM di bawah naungan fakultas, tiap
fakultas di UIN Walisongo memiliki LPM masing-masing, sangat berbeda dengan UIN
Suska Riau dimana hanya ada dua, LPM Universitas dan satu LPM di Fakultas Dakwah
dan Ilmu Komunikasi, aku sendiri dari LPM Gagasan di tingkat universitas.
Semakin bertambah kekagumanku pada LPM Justisia,
produk-produk yang dihasilkannya sangat banyak, mulai dari Jurnal Hukum,
Majalah, Lingkar Kajian Sastra (Liksa)
yang terbit setiap dua kali setahun hingga web. Banyak hal yang
kupelajari dari Justisia dan orang-orangnya.
Setelah bosan bercengkrama aku diantar penginapan untuk
perempuan milik Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA). Aku diantar oleh Mas
Inung dari LPM Justisia Di sana aku berjumpa dengan peserta lain dari Medan,
Nurul dan Widya, serta Jelita dari Lhoukseumawe, Aceh. Acara workshop di
agendakan di Hotel Aston Semarang, tapi kami baru bisa chek in keesokan
harinya sehingga malam itu kami diinapkan di eLSA.
Perpisahan Prematur
26 Oktober 2018, kami berangkat dari eLSA menggunakan
Grab Car, aku semobil dengan Jelita dan Khusna. Tiba di Hotel Aston Semarang,
kami disuguhi HokBen untuk makan siang. Kenyang makan siang di Lobby kami
menyeret koper menuju Restaurant di Hotel yang terletak di lantai yang aku lupa
keberapa.
Neneng, panitia yang meng-handle agenda Workshop Sejuk ini
mengumpulkan kami semua dan mengatakan bahwa ada hal penting untuk dibicarakan.
Dengan menghela napas disertai jeda yang cukup lama membuat kami penasaran
dengan hal penting apa yang akan dibicarakan. Nurul berbisik kepadaku bahwa
apapun itu adalah hal yang baik, perlu kau ketahui kawan, Nurul tiba lebih dulu
dibandingkan dengan aku.
“Assalamualaikum Wr.Wb, perlu adek-adek semua ketahui
bahwa agenda Workshop Jurnalisme
Keberagaman yang diadakan dari tanggal 26-29 Oktober, dengan berat hati
dibatalkan,” begitulah kalimat pembuka yang langsung membuah hening satu
ruangan.
Aku tak dapat berkata apa-apa, kembali para peserta
berbisik-bisik dan bertanya apakah ini sebuah prank. Tak butuh waktu lama,
Neneng menjelaskan alasan dibatalkannya workshop ini disertai penyesalan dan
kata-kata maaf. Nurul pun sempat terkejut dengan apa yang disampaikan Neneng
berbeda dengan apa yang dipikirkannya sebelumnya.
Kecewa sudah pasti iya, peserta datang jauh-jauh dari
seluruh Nusantara, ketika tiba agenda dibatalkan, untung saja biaya perjalanan
ini gratis. Kami baru mengenal sebagian dan besok kami sudah harus berpisah.
Panitia menjanjikan bahwa untuk peserta workshop
mendatang tidak akan berubah, workshop akan tetap berjalan dengan tema yang
sama dan peserta yang sama hanya saja waktunya yang berbeda. Sedikit banyak hal
ini memberikan harapan untuk kami.
Hanya satu malam kami menginap di hotel mewah itu,
malamnya kami diajak berjalan-jalan di Mall Semarang dan makan malam di
Solaria, dilanjutkan dengan menikmati pemandangan malam di Simpang Lima,
berfoto dan berkenalan sebelum akhirnya mengucapkan perpisahan.
Kapan2 ajak doong ke semarangnyaa πππ
ReplyDeletehayuuk ngetrip bareng
Delete