Berkunjung ke Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Idea UIN
Walisongo kemudian ke LPM Justisia berjalan kaki, menikmati malam terakhir di
Semarang bersama kawan-kawan Persma, melihat indahnya malam di seputaran kampus
UIN Walisongo.
Baca juga: Jejak Tanah Semarang
Usai bercengkrama Jelita dan Roni asal Aceh mengajak
berbelanja oleh-oleh khas Semarang. Jika Jelita ingin berbelanja barang-barang
berbeda dengan Roni yang ingin membeli makanan khas Semarang. “Terserah apa aja
deh, yang penting ada tulisan ‘Semarang’ nya,” ungkapnya.
Akhirnya aku, Jelita, Roni dan Eva (asal Surabaya) diajak
berkeliling Semarang dengan Ainun dan Firda, tuan rumah dari LPM Idea. Kami
kembali menyusuri jalan sekitar Simpang Lima untuk mencari pernak-pernik khas
Semarang seperti gantungan kunci, baju dan lain-lain.
Kami terbagi dua kelompok, aku dengan Jelita, Eva dan Firda,
sedangkan Ainun dan Roni tengah asik membangun roman di antara mereka (hahaha).
Kami bertemu kembali di pusat kuliner di tepi jalan yang lupa aku namanya.
Usai memesan minuman kami kembali menyusuri jalan yang sama
dan tak menemukan apa yang kami cari. Begitu sulit menemukan oleh-oleh
bertulisan ‘Semarang’ di tempat ini. Lelah dengan kenyataan yang menyedihkan,
Jelita memutuskan membeli kaus bergambar Lawang Sewu bertuliskan Semarang untuk
ku, dia membelikan satu untukku dan aku membelikan satu untuknya. Sebagai
hadiah perpisahan.
“Di Jalan Pandanaran ada oleh-oleh kuliner khas Semarang,
kita jalan kaki aja ke sana, dekat kok,” kata Ainun. Alhasil kami berjalan
sepanjang trotoar Pandanaran. Satu lampu merah, dua lampu merah, hingga
kaki-kaki ini bergetar tak sanggup melangkah lagi.
“Masih jauh lagi ya?” Aku bergumam berharap seseorang
menjawabnya. Ketika melihat gedung-gedung tinggi aku menyeletuk betapa malam
sebelumnya kami menginap di hotel berbintang empat dan lihatlah sekarang, kami
duduk selonjoran di tepi jalan yang mulai sepi. “Kemarin malam kita tidur di
sana lo.” Kataku pada Eva, dia hanya tersenyum lemah.
“Aku dah tak sanggup lagi.” Ujar Jelita.
Setelah cukup beristirahat sejenak, kami melanjutkan
perjalanan lagi, akhirnya yang kami cari pun terlihat samar-samar. Setelah
berjalan cukup jauh, cukup malam dan akhirnya sampai yang kami dapati hanya
kekecewaan. Ternyata gerai oleh-oleh itu tutup. Yap. Tutup.
Ainun berulang kali meminta maaf yang sebesar-besarnya, ia
benar-benar tidak tahu jika gerai yang kami cari ternyata lebih jauh dari
dugaannya dan ternyata tutup ketika kami tiba. Memang melelahkan perjalanan
kami malam itu, kisah ini tentu tak akan terlupakan. Jalan Pandanaran saksi
bisu bahwa kita pernah bertemu dan berjalan bersama di bawah lampu jalanan.
Akhirnya kami pulang tanpa membawa apa-apa kecuali kaus
tadi, kembali ke kosan Firda. Tidak berjalan kaki kawan, kami tak akan sanggup
berjalan sampai sana, kami naik grab. Sampai tujuan kami terlelap dan terbangun
keesokan harinya.
Jelita dan Roni pulang ke Aceh, pagi itu. Sedangkan Eva
melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta, dan aku? Aku masih punya ssatu hari di
Semarang, karena keretaku tujuan Malang berangkat pukul 9 malam.
0 komentar: