Dari Semarang menuju Yogyakarta. Untuk menyapa Candi Borobudur dan bertemu dengan Roro Jonggrang dalam kutukannya di Candi Prambanan.
Aku, Nurul asal Medan dan Nia dari Pekanbaru, telah merencanakan jauh-jauh hari kunjungan ke Kota Gudeg ini. Awalnya kami berencana akan menggunakan kereta api murah dari Semarang menuju Solo. Sekitar Rp. 10 ribu, kemudian dari Solo ke Yogyakarta juga dengan kereta api sekitar delapan ribu rupiah. Travelling ala backpacker.
Baca juga: Melihat Kerukunan Umat Beragama dari Kacamata Gereja Katolik Karangpanas
Tapi wacana yang hampir matang sengaja dirubah, mengingat dan menimbang ketika Roni dan Jelita asal Aceh hendak bergabung. Mereka menyarankan untuk menyewa mobil lengkap dengn supirnya kira-kira habis biaya Rp. 600 ribu sudah termasuk bensin.
Jika dikaji lagi, lima orang yang akan pergi dengan biaya 600 ribu. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kami bisa pergi kemana-mana tanpa perlu memikirkan ongkos transportasi lagi. 600/5 = 125. Satu orang bertanggungjawab sebanyak Rp. 125 ribu. Belum termasuk makan pribadi dan sopir.
Kami menyewa mobil ojek online atau Grab. Dengan destinasi tujuan, Borobudur, Prambanan dan Pantai Parang Tritis. Lumayan murah jika dibagi kami berlima.
Awalnya kami akan berangkat dari Semarang pukul tiga subuh. Karena supir sedikit keberatan maka kami memutuskan untuk berangkat pukul lima pagi. Aku bersyukur supir keberatan berangkat jam tiga, karena kami bari terbangun pukul lima. Seperti kebanyakan jam karet dari pukul tiga molor hingga pukul 5. Dari pukul lima ngaret hingga pukul enam pagi.
Baca juga: Potret Nyata Kerukunan Muslim dan Tionghoa Semarang
Dua jam perjalanan dari Sematang ke Yogyakarta melewati jalan bebas hambatan. Dengan pemandangan gunung serta bukit-bukit dan bentang alam yang memanjakan mata.
Masuk di daerah Magelang, supir menepikan mobil untuk mengisi perut yang keroncongan. Aku sudah mual dari tadi karena belum ada makanan yang mengisi perutku. Gudeg menjadi pilihan terbaik pagi itu.
Gudeg adalah makanan khas DIY. Nasi yang dicampur dengan sayur nangka. Nangka tersebut lebih mirip daging yang diiris-iris dilihat dari visualnya. Ditambah dengan suiran ayam dan topping kacang-kacangan. Rasanya manis. Kami orang Sumatera kurang cocok dengan makanan yang manis-manis. Hanya supir yang menghabiskannya makanannya.
Menuju Candi Borobudur, candi megah peninggalan wangsa Syailendra berbentuk stupa ini berada di daerah Magelang. Banyak orang berpikir bahwa Borobudur terletak di Yogyakarta padahal tidak. Candi Budha ini didirikan sekitar tahun 800 Masehi. Hingga kini Borobudur adalah candi terbesar di dunia.
Biaya masuk ke candi sekitar Rp. 40 ribu, jika ingin pergi ke Prambanan sekalian, lebih baik pesan di sini. Dapat diskon lima ribu rupiah. Jadi cuma bayar Rp. 75 ribu untuk bisa mengunjungi Borobudur dan Prambanan.
Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan ribuan relief dan arca budha.
Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus pucak dari Borobudur. Di tiap undakan terdapat stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila. Ada beberapa arca buddha yang tidak tertutup stupa.
Berkunjung ke Borobudur sama halnya dengan menanjak di sebuah bukit. Tangga demi tangga harus dilewati. Terkadang harus berhenti sejenak untuk menarik napas dan minum air. Jangan sampai tidak membawa air ya. Makanan memang tidak diizinkan, tapi air wajib dibawa. Aku tidak membawa air sama sekali sehingga bisa dibayangkan betapa dehidrasinya aku menuju Puncak Borobudur.
Ada banyak penjual minuman, tapi hanya sampai pintu pengecekan tiket. Setelah itu tidak ada yang berjualan di dalamnya. Saranku jangan terlalu siang jika pergi ke candi ini. Cuaca sangat panas, meskipun ada yang menyewakan payung.
Lelahku hari itu semakin menjadi-jadi. Tanpa air mineral, tanpa makanan. Hanya membawa kamera. Betapa bodohnya aku kala itu. Aku menjanjikan akan menjelajah Borobudur hanya dua jam. Kedua temanku, Nurul dan Nia sudah pernah mengunjungi tempat ini. Jadi hanya aku, Roni dan Jelita yang masuk ke dalam.
Sampai di dalam kami terpisah. Tak pusingkan hal itu, aku menjelajahi berbagai sudut Borobudur. Sesekali meminta orang yang tidak kukenal untuk memotretku. Atau dengan menggunakan timer lalu ke sangkutkan gawai di relief agar tidak jatuh.
Puas berkeliling aku mencari-cari Roni. Beruntung ia tak sulit ditemukan. Ia sempat mengomel karena mencari-cari kami. Bukan, aku tak berniat memisahkan diri, tapi aku mencari beberapa spot foto yang bagus. Ketika kembali mereka sudah tidak ada.
Akhirnya aku dan Roni kembali berjalan berkeliling candi untuk menemukan Jelita. Aku menuju stupa tertinggi di puncak agar dapat melihat lebih luas. Kendati demikian aku tak menemukan warna baju jelita yang dipakai hari itu. Sempat mengelilingi Borobudur sekali lagi. Kami tak kunjung menemukannya.
Kami beristirahat di salah satu sudut Borobudur yang telindung dari terik matahari siang itu. Aku berpikir jika Jelita sudah turun duluan dan menyarankan ke Roni untuk segera turun karena cuaca semakin terik. "Janganlah, nanti kalau dia belum turun gimana? Dia itu orangnya panikan. Kalau hilang gimana?" kata Roni dengan wajah cemas.
Mungkin kau akan bertanya padaku kawan, kenapa tidak di telpon saja. Itu karena nomor telelon Jelita tidak aktif. Juga karena dia sedang tidak memiliki paket internet. Kalang kabut kami mencari sampai kami umumkan di pos pengumuman orang hilang. "Pengumuman, kepada pengunjung bernama Siti Jelita dari Aceh, ditunggu temannya di pintu keluar," kira-kira begitu bunyi pengumuman yang menggema di Borobudur.
Beruntung kami semua dipertemukan lagi beberapa saat kemudian setelah Roni dan supir melakukan pencarian di luar candi. "Aku gak ngilang kok, aku cuma jalan-jalan aja," kata Jelita. Syukurlah tidak ada hal buruk yang terjadi. Tak bisa kubayangkan harus kehilangan rekan di negeri orang. Tengah hari itu juga kami bertolak ke Prambanan.
Dari kiri ke kanan: Roni, Aku, Jelita |
0 komentar: