Sudah lama sekali, aku tidak membuat tulisan perjalanan.
Banyak kisah yang belum sempat kutuliskan. Dari pada menguap seperti dulu-dulu,
alangkah baiknya aku menorehkannya selagi masih hangat dalam ingatan.
Aku teringat story yang dibuat temanku di WA dan aku
ingin mengutipnya. “Aku tak pernah menulis tentang orang yang aku benci
dalam setiap tulisanku, karena aku tak ingin ia hidup abadi. Biarlah kutuliskan
cerita tentang orang yang kusayangi agar ia abadi dan lekat dalam ingatan”
intinya gitu.
Mendaki gunung, kali ini adalah kali ke-empat aku menapakkan
kakiku di dataran tinggi. Sebelumnya aku pernah mengunjungi Marapi pada 2016
lalu. Itu kali pertama aku jatuh cinta dengan udara di ketinggian.
Mengisi hari-hariku yang membosankan, terbersit pikiran di
otak yang dipenuhi asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau.
Ingin rasanya menghirup udara segar tanpa sesak dan batuk.
Akhirnya datang ajakan dari temanku Ikbhal untuk melakukan
pendakian. Tanpa ba bi bu aku mengiyakan. Ku ajaklah Sofi, temanku mbolang
sejak zaman dahulu kala. Untung dia mau ikut.
H-1 sebelum keberangkatan, tidak ada persiapan sama sekali,
olahraga kecil-kecilan pun belum disiapkan. Padahal itu termasuk penting, kalau
tidak, bisa-bisa turun gunung berjalan mengangkang seperti beberapa tahun silam
saat naik gunung pertama kali.
Jangankan berolahraga, packing barang pun dua jam
sebelum keberangkatan. Bagaimana tidak, hari itu entah mengapa pekerjaan baru
siap pukul 18.00 WIB. Dari Sukajadi sampai Panam perlu waktu setengah jam
lebih. Berbelanja sebentar ke Indomaret untuk beberapa keperluan, sampai juga
aku di kosan pukul 19.00 WIB. Rencananya kami akan berangkat ke Sumatra Barat
pukul 21.00 WIB.
Ketika sibuk mengepak barang, teringat jika aku belum
mengambil sleeping bed (SB) di rumah temanku. Alamak, bukan dekat
pulak, hampir setengah jam belum termasuk macet. Sembari melipat kain,
aku terus berpikir dan membaca perlengkapan yang harus disiapkan sebelum naik
gunung.
Persiapanku ketika hendan mendaki Gunung Talang di
antaranya adalah:
2 buah kaus kaki tebal. Kalau aku pakai yang panjang
untuk naik, soalnya di Gunung Talang kan basah, jadi meminimalisir digigit
pacet. Bukan apa-apa, meski tidak sakit tapi pacet itu menggelikan. Kalau
satunya dipakai pas di atas, jadi misalkan kaus yang pertama sudah busuk atau
basah bisa ganti dengan yang bersih demi kenyamanan.
SB, untuk pendakian di Gunung Talang, menurutku jika
tidak punya juga tidak apa-apa tidak membawanya. Tapi demi kenyamanan alangkah
baiknya dibawa. Yang namanya gunung sudah pasti dingin. Tetapi, dinginnya
Gunung Talang, tak sedingin Gunung Marapi, tak juga sedingin hatimu.
3 stel pakaian. Termasuk dengan yang dipakai.
Berangkat Jumat malam dan turun hari Ahad siang. Stel pertama kupakai Jumat
malam dan Sabtu saat naik. Ketika sampai cadas baju lumayan kotor dan ganti
stel kedua, biar tidur nyaman meskipun tidak mandi. Baju ke-tiga aku pakai
sesudah turun gunung dan pulang ke Pekanbaru. Karena aku berangkat naik mobil baju
ketiga ku tinggal saja biar tidak memberatkan saat pendakian.
Mantel, pakai mantel tipis harga Rp 10 ribuan, biar
kalau-kalau hujan datang baju aman dan barang bawaan tidak kebasahan.
Senter (Disarankan senter kepala). Dari cadas menuju
puncak gunung biasanya pendakian dilakukan dinihari, cahaya bulan tidak akan
banyak membantu sehingga diperlukan senter untuk menerangi hidupmu. Tak hanya
itu, saat sesak pipis tengah malam senter juga akan sangat berguna untuk
mencari semak-semak aman untuk membuang hajat.
Nah, selain itu jangan lupa membawa jaket tebal, sarung
tangan, snack dan obat-obatan pribadi ya. Btw jangan lupa bawa botol air minum
setidaknya untuk persiapan dirimu sendiri. Untuk di Gunung Talang sumber air
sangat dekat sehingga tidak perlu khawatir kehabisan air.
***
Setelah selesai melipat semuanya, barulah aku sadar jika kau
tidak punya sarung tangan dan kaus kaki. Dengan amat sangat terpaksa aku harus
keluar membeli perlengkapan tersebut sambil mengambil SB di rumah temanku.
Sialnya lagi, lampu motorku mati. Sebenarnya tidak masalah kalau aku melewati
jalan besar dan ramai lalu lintas. Masalahnya jalur yang akan kulewati menuju
rumah temanku masuk gang dan sepi. Di sekitaran Jalan Lobak kalau tidak salah.
Akhirnya aku sampai ke kosan dengan selamat setelah meminjam
motor milik temanku. Semua sudah siap sedia tinggal memasukkannya dalam ransel.
Menggendut ranselku dibuatnya. Hahaha.
Aku belum makan malam dan tidak terpikir untuk makan malam
terlebih dulu, ponselku berdering dan Ikbhal menelepon, mengatakan jika ia
hendak on the way. Buru-buru aku mandi secepat kilat usai mematikan
sambungan telepon.
Akhirnya kami berangkat menuju Sumbar sekitar pukul 21.30
WIB. Aku orang terakhir yang dijemput, di dalam mobil sudah ada tujuh orang,
dua di antaranya Ikbhal dan Sofi, selebihnya aku tidak mengenal sama sekali.
Masuk ke dalam mobil, Sofi sudah tertidur pulas barisan ke
dua, aku duduk di tengah dan satu orang lagi duduk di sebelahku. Tiga orang
duduk di bagian paling belakang dan dua lagi di depan bertugas sebagai sopir.
Kuhabiskan malam itu dengan memeluk tas yang entah milik
siapa. Kakiku tidak dapat bergerak bebas lantaran tas-tas yang berada di bagian
bawah kaki. Sesekali aku terbangun ketika mobil berkelok tajam atau saat perut
mual dan terasa ingin muntah. Bukan terasa, tapi aku memang benar-benar muntah.
Ku hitung tiga kali aku mengeluarkan kantung kresek andalanku saat perjalanan.
Menyebalkan, memalukan juga.
Di antara tidur malam yang tidak nyenyak. Mataku tertidur,
tetapi telingaku mendengar suara-suara samar. Yap, tiga orang pria sedang
bergosip ria, Rahmad yang duduk di sebelahku, Dika yang sedang menyetir dan Ikbhal
yang menunggu giliran menyetir. Tak apalah, biar menjadi dongeng pengantar
tidurku. Kapan lagi coba dengar cowok-cowok menggosipkan cewek. Hahaha
***
Pagiku terbangun ketika mobil berhenti saat azan subuh
berkumandang, di sebuah masjid yang aku tidak tahu namanya. Gerimis hujan
mengguyur tanah minang saat itu. Usai salat subuh perjalanan kembali
dilanjutkan menuju Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok.
Lega-kelegaan hangat saat roda-roda mobil kembali berhenti
di perkampungan di bawah kaki Gunung Talang yang juga merupakan pos atau rambu
(R). Aku sudah hampir muntah lagi untuk keempat kalinya andai saja mobil tak
berhenti. Ku hirup udara dalam-dalam, udara segar, bersih tanpa asap dan jauh
dari kebisingan kota.
Suasana pagi di kaki Gunung Talang |
Sebelum berangkat, kami sarapan terlebih dahulu, satu
kantong kresek berisi banyak gorengan sebesar kepalan tangan. Tak cukup sampai
di situ, Ikbhal, Dika dan Rahmad memasak nasi goreng tak jauh dari dinding
rumah, tepat di bawah jendela. Sempat aku berpikir bagaimana jika empunya rumah
membuka jendela dan memergoki tiga anak manusia sedang memasak ria di bawah
jendelanya. Untung saja itu hanya terjadi di pikiran liarku.
Pagi itu entah pergi kemana nafsu makanku, meski perut telah
kosong karena habis akibat muntah semalaman, aku tidak merasa lapar. Kendati
demikian aku tetap mencoba memasukkan satu gorengan ke dalam mulut sebagai
pengganjal dan tenaga untuk mendaki nanti. Satu piring penuh nasi goreng tak
dapat kuhabiskan. Seekor anjing memandangku dengan mata sendunya, kulemparkan
sepotong gorengan milikku ke arahnya dan ia mengambil potongan itu dengan
semangat.
Sebelum berangkat, kami saling berkenalan. Ada Said yang
masih semester tiga, kemudian Bang Jos dan Bang Resky.
Ikbhal menuliskan nama-nama kami di pos pendaftaran. Pos di
sini disebut dengan rambu (R). dari sini adalahlangkah pertama para pendaki
hingga melewati 54 rambu berwarna merah sepanjang perjalanan menuju puncak.
Aku membaca berkali-kali tapi sepertinya ia lupa menuliskan
namaku. Anehnya saat kuhitung di dalam hati jumlahnya pas. Delapan orang.
Kembali kuintip buku bertuliskan nama kami tersebut. Oh, rupanya Ikbhal salah
menuliskan namaku. Pantas saja aku tak menemukannya. Namaku Annafi, dia
menuliskannya Hanafy. Aish, biar sajalah tak perlu diributkan, masih
terlalu pagi untuk mencari keributan.
***
Hamparan kebun teh seluas mata memandang, tanjakan dan
turunan tak lagi terasa melihat surga yang ditaburkan Tuhan sekenanya di tanah
Sumbar. Segera kuambil gawai, cekrek-cekrek foto melupakan letih yang
dengkul rasakan sedari tadi. Sofi dan Said tak ketinggalan mengabadikan momen
yang baru pertama dirasakan ini, hahaha aku juga demikian.
Melewati hamparan kebun teh dalam pendakian Gunung Talang |
Kami mengambil air di kedai Pak Bambang untuk persediaan
selama perjalanan. Saat kami tiba, kedai ini masih tutup, di sebelah kiri kedai
terdapat aliran air yang mengalir deras dan dipasangi bambu sehingga memudahkan
untuk memasukkannya ke dalam botol. Beberapa meter dari aliran air tersebut
terdapat kamar kecil bertuliskan dilarang BAB di sini. Kamar kecil itu memang
hanya untuk membersihkan diri dan berganti pakaian, tidak termasuk buang air
besar (BAB).
Kami mendaki melalui Jalur Aia Batumbuak. Katanya perlu
waktu sekitar 4-5 jam untuk sampai cadas, bukan waktu yang lama, bukan pula
waktu yang sebentar.
Jalanan yang semula datar berubah menjadi tanjakan, sedikit
turunan, dan tak jarang kami harus memanjat dan berpegangan pada akar-akar
pohon yang berdiri tegak di tengah hutan yang dingin. Sesekali kami berhenti
untuk menyesuakan napas yang ngos-ngosan tidak karuan dan meminum air
mineral menghindari dehidrasi.
Aku sedikit menyesalkan, ketika perjalanan terlalu banyak
minum air putih. Memang segar dan melepaskan dahaga, tapi terlalu banyak minum
air putih membuatku lebih sering terasa sesak untuk buang air kecil. Tentu
semua orang tahu, jika di Gunung Talang tidak ada WC ataupun toilet.
Sepanjang berjalanan sesekali Sofi bernyanyi gembira,
kemudian suaranya menghilang berganti desahan napas Senin-Kamis. Beristirahat
sejenak untuk mengembalikan stamina. Ketika angin berhembus rasa dingin
menjalari tubuh dan membuatku sedikit menggigil. Tak jarang angin yang menerpa
pepohonan menerbangkan pacet yang kemudian menghisap darah segar kami.
Aku tak mengkhawatirkan diri sendiri, sebab aku merasa cukup
terlindungi dengan pakaian kaus lengan panjang dan celana yang menutupi seluruh
kakiku, serta kaus kaki di atas mata kaki. Aku yakin pacet enggan naik mencari
darah segar.
Tetapi tidak halnya dengan Rahmad dan Dika. Mereka berdua
memakai celana pendek sedikit di atas lutut. Aku hanya berpikir itu mungkin
gaya keren ala pendaki yang sudah berkali-kali menjajaki Gunung Talang. Hanya
saja aku sedikit khawatir kalau-kalau terjatuh, apa mereka tidak sayang dengan
kulit putih mulus mereka. Belum lagi terpaan angin dingin kala beristirahat
atau gigitan pacet yang dengan mudahnya mendapatkan sasaran empuk.
Benar saja, setelah aku memikirkan hal itu, kulihat seekor
pacet menggeranyangi Rahmad. Sementara Ikbhal sibuk mencari pacet di punggung
Dika. Aku tergelak dalam hati, rasakan. Hahaha.
Belakangan, aku mendengar Sofi bergumam dimana hanya aku
yang mendengarkannya saat itu. Kata-katanya membuatku terbahak-bahak dan
memberikui bahan candaan untuk menggoda Sofi setiap kali bertemu.
“Aish, abang-abang ini pakai celana pendek pula,
bikin nafsu orang aja,” gumam Sofi.
Rahmad dan Dika |
Rupanya karma tak jauh menimpa diriku, beberapa saat
kemudian setelah berjalan cukup jauh. Aku menyadari darah segar mengalir tepat
di atas kaus kaki sebelah kanan yang kupakai. Terlihat bekas gigitan pacet
masih mengeluarkan darah segar. Hanya saja aku tidak melihat pelaku yang
mengakibatkan luka yang tak terasa tersebut. Aku yakin dia sedang bersendawa
kekenyangan menikmati darahku. Dasar pacet sialan.
Aku bersyukur, pacet itu tidak berjalan jauh menggeranyangi
badanku hingga sampai atas. Tak bisa aku bayangkan jika itu benar-benar
terjadi. Bukan takut, bukan jijik, hanya sedikit geli melihat makhluk berlendir
itu berjalan. Ah sudahlah, kau tak akan paham kawan.
Di sepanjang jalan, ketika bertemu dengan pendaki lain
sapaan hangat adalah Bapak untuk laki-laki dan Ibu untuk perempuan. Jangan
merasa tua dipanggil demikian, sebab itu lah adatnya, Sama dengan di Gunung
Marapi. Mungkin juga sama di gunung-gunung lainnya di tanah Minang ini. Kalau
di Jawa setara dengan panggilan Mas dan Mbak.
Satu hal yang aku sukai jika mendaki gunung adalah keramahan
pendakinya, semuanya seolah-olah telah saling mengenal. Berbeda saat aku di
Gunung Bromo. Barangkali karena Gunung Bromo termasuk tempat wisata atau apa
namanya ya, susah mendeskripsikan. Pernah suatu ketika aku bercerita dengan
temanku jika pernah mendaki Bromo. Dia hanya mengatakan jika ke Bromo tidak
termasuk mendaki gunung. Entahlah, aku iyakan saja saat itu.
Selain Sofi yang suka merekam momen, Said si anggota termuda
di antara kami juga acapkali merekam diri menggunakan gawainya. Ia bertutur,
jika ia adalah seorang Youtuber, kontennya berisi perjalanan dia. Yang
membedakan, ia mengisi konten dengan bahasa inggris. Cukup menarik menurutku,
bisa dijadikan tempat untuk praktek ngomong bahasa inggris.
Sementara itu, Bang Jos dan Bang Rezky sepertinya hanya
ingin menikmati perjalanan dengan damai. Kalau dilihat dari penampilan,
sepertinya Bang Jos memang hobi mendaki, begitu juka Bang Rezky. Kalau Bang
Rezky dia lebih suka meminjamkan gawainya untuk mengambil gambar. Bisa
dikatakan rata-rata semua potret kami berdelapan ada dalam genggaman Bang
Rezky.
Sepanjang perjalanan kami melihat asmaul husna atau 99 nama
Allah. Semakin tinggi urutannya, katanya semakin dekat pula menuju puncak. Sofi
tak henti-hentinya menghitung dengan telaten angka-angka asmaul husna sambil
menyebut nama Allah. Mulia sekali orang yang membuatnya.
Sejujurnya aku tidak melihat asmaul husna hingga ke angka
99. Ini karena kami tidak berhail mencapai puncak.
Sekitar pukul 12 siang, ntah lewat atau kurang aku lupa.
Kami beristirahat di sebuah tempat yang cukup datar dan luas. Namanya titik 28.
Di situ, kami kembali membuka kisah lama, eh bukan. Bekal maksudnya, seperti
roti dan gorengan yang kami beli tadi pagi. Cukup lama kami beristirahat, sebab
angin yang berhembus membuat kami mengigil. Aku menyelipkan tangan di bawah
lutut. Di situlah kehangatan berada. Ku beritahu kepadamu kawan, kalau kamu kedinginan
letakkan tanganmu di bawah lutut, di perut atau di leher. Tempat-tempat
tersebut cukup hangat untuk menormalkan suhu dingin.
Pepohonan menyerupai pandan-pandan raksasa tapi berduri
terhampar luas di depan kami saat kembali melanjutkan perjalanan. Aku merasa
seperti berada di zaman purba dalam serial animasi fim yang aku lupa judulnya.
Di tempat itu pepohonan mulai jarang dan kami bisa melihat langit dengan luas.
Hanya saja kabut tebal menerpa kami beberapa saat kemudian. Jalanan yang kami
lalui semakin menanjak dan batu-batu besar bermunculan. Aku melihat sebuah
batu, dengan mata berbinar aku berjalan menuju batu tersebut dan duduk di
atasnya, layaknya duduk di atas sofa yang empuk. Nikmat tak tergantikan. Teh
botol sosro.
Ikbhal, Said dan Bang Jos berjalan terlebih dahulu, kemudian
aku Sofi dan Bang Rezky berada setelah mereka, sementara itu, Rahmad dan Dika
masih berjalan di bawah atau di belakang kami, belum terlihat batang hidungnya.
Menunggu hanyalah alasan, sebenarnya aku juga kelelahan.
Dengan dalih menunggu Rahmad dan Dika, aku bersama Sofi dan Bang Rezky
bercengkerama sambil menikmati makanan, duduk di sebuah batu dengan mulut penuh
oleh roti. Bang Rezky juga tidak mau kalah, ia mengeluarkan beberapa cemilannya
seperti makanan ringan dan coklat. Tentu saja dengan senang hati kami
menerimanya.
Tak lama kemudian muncullah Rahmad dan Dika, bukannya
bergegas mereka berdua terduduk tak jauh di bawah kami. Aku semakin senang
karena menambah waktu istirahat. Kutawarkan pada mereka makanan tapi mereka
menolak. Mungkin terlalu letih untuk berjalan sedikit lebih ke atas dan duduk
bersama kami. Pasalnnya mereka berdua membawa tas carrier yang cukup besar dan
tidak kutahu isinya apa.
Akhirnya kami berbagi makanan, Dika dan Rahmad yang enggan
beranjak dari tempat istirahat, serta aku yang malas untuk sedikit turun ke
bawah, membuat beberapa makanan terbang menuju Dika dan Rahmad.
Setelah itu, kami kembali melanjutkan perjalanan. Kupikir
Ikbhal telah sampai jauh ke atas, rupanya dia masih menunggu. Sedikit menyesal
aku tak berbagi makanan dengan dia, tapi sudahlah. Toh dia juga tidak
tahu.
Baca Selanjutnya: Gunung Talang I Love You 5.000 (Part 2)
Mendaki gunung memang memberikan pengalaman tersendiri ya :D
ReplyDeleteRegards,
Dee Rahma
Iya setidaknya harus dicoba sekali pun tak apa
Delete