Putih, jarak pandang hanya sekitar 10 meter, tak kulihat
apapun selain rerumputan. Yang aku tahu dibalik kabut tebal yang menghalangi
pandangan adalah sebuah hamparan tanah lapang yang luas, selain itu tidak ada
apa pun yang bisa aku bayangkan sebagai orang yang kali pertama menjajaki
Gunung Talang.
Kabut semua |
Aku tak berpikir ini adalah puncak dan benar saja ternyata
ini adalah cadas. Lalu dimana puncaknya. Aku bertanya-tanya hingga akhirnya
seseroang mengatakan dan menunjuk arah di depanku. “Di balik kabut itu ada
puncaknya, kita masih di cadas,” katanya.
Angin kencang membawa dingin berhembus, seketika terlihat
puncak Gunung Talang yang gagah dan berdiri dengan angkuhnya, saat itu tidak
terlihat satu manusia pun menuju puncak. Hanya ada beberapa tenda tak jauh dari
tempat kami mendirikan tenda.
Baca Juga: Gunung Talang I Love You 5.000 (Part 1)
Gunung Talang memiliki sumber air berlimpah bahkan hingga
cadasnya. Pantas saja, Ikbhal tidak banyak mengambil air saat di bawah tadi,
ternyata ada sumber air di atas. Kami mendirikan tenda tak jauh dari sumber air
berada. Air mengalir jernih di antara
bebatuan, beberapa orang mengambil dengan botol plastik untuk dibawa ke tenda.
Pantas saja nama gunungnya talang, kalau di kampungku talang
itu tempat menadahkan air ketika hujan tiba, jadi air melewati benda menyerupai
pipa besar yang dibelah dua. Itulah yang disebut talang. Tapi aku tak
benar-benar tahu kenapa gunung ini bernama Talang, dan aku enggan bertanya.
Saat itu masih zuhur dan aku membasuh wajahku dengan
dinginnya air Gunung Talang, dingin dan menyegarkan, kayak ada
manis-manisnya gitu. Belakangan, Bang Jos memberitahuku kalau tidak boleh
mencuci muka di sumber air, katanya kasihan yang lain, mereka masak, makan dan
minum pakai air itu, kalau dibuat cuci muka nanti tercemar. Begitu katanya.
Sekadar pembelaan, aku hanya mencuci wajah tanpa sabun kok,
sama seperti mereka saat mengambil air dan memasukkan kakinya ke sumber air.
Tapi, setelah itu jika ingin cuci muka aku lebih memilih memasukkan air ke
dalam botol, kemudian cuci muka agak jauh dari sumber air. Besoknya aku melihat
ada perempuan mencuci muka di situ lengkap dengan sabun pembersih wajah. Agak
kesal pulak aku lihatnya.
Sore itu, kami menghabiskan waktu dengan berkeliling menuju
sebuah bukit di tepi jurang, katanya di situ bisa melihat pemandangan Danau
Talang melalui sebuah pohon tumbang, Dika membawa kami untuk melihat danau
tersebut, hanya saja danau itu tidak terlihat dengan jelas. Pohon tersebut
bergoyang-goyang ketika satu persatu kami menitinya untuk dapat melihat danau.
Setelah itu, kami berjalan sedikit lebih jauh untuk melihat
pemandangan yang indah, tapi lagi-lagi kabut datang menerpa dan segalanya
kembali menjadi putih. Puncak Talang dengan segala kesombongannya kembali tidur
dalam tebalnya selimut kabut. Kami duduk-duduk di sana menanti angin kencang
berhembus berharap dapat mengusir kabut yang menyebalkan itu.
Kabut sedikit menghilang, mulailah gawai-gawai beraksi, jepret
sana jepret sini sampai batrai habis dan kami kembali turun menuju
tenda. Ikbhal dan Rahmad telah menyiapkan kentang goreng yang rasanya tak kalah
dari kaefsi lengkap dengan sausnya. Yummi...
Kami berdelapan memakan kentang goreng dengan lahap di depan
tenda. Ada tiga tenda yang didirikan, semuanya saling menghadap. Satu denda
diisi oleh Ikbhal, Rahmad dan Dika, satu tenda aku dan Sofi serta satu tenda
lagi, Said, Bang Jos dan Bang Rezky. Tenda Ikbhal dan Said berhadap-hadapan,
bisa jadi saat mereka secara tak sengaja membuka pintu tenda bersamaan mereka
akan saling bertemu pandang. Sedangkan tendaku, ketika aku membuka pintu,
pemandangan Gunung Talang menyapaku dan akan mengucapkan selamat pagi jika aku
membuka pintu di pagi hari.
Gunung Talang menyimpan banyak cerita. Terdapat babi-babi
liar sebesar sapi lengkap dengan celeng (anak babi) berjalan-jalan tanpa merasa
takut dengan kehadiran manusia. Justru aku sebagai manusia sempat ngeri juga
membayangkan babi-babi ini tiba-tiba mengejar dan menyerudukku tanpa tahu malu.
Tapi kusingkirkan pikiran anehku dan melihat babi-babi itu berlalu lalang tanpa
merasa berdosa.
Aku terbaring lelah di dalam tenda, matahari belum beranjak
dari peraduannya. Tiba-tiba bunyi tenda robek membangunkanku, serta-merta suara
bapak-bapak dari tenda tetangga berteriak heboh ketika seekor babi berhasi
menjebol tenda. Sayangnya, tenda yang dijebolnya adalah salah satu dari tenda
kami, tenda Ikbhal yang lagi ditinggal sama penghuninya untuk cuci muka. Alamaak,
sial kali nasib mu nak’e.
Logistik- memang semua berada di tenda tersebut, bisa jadi
si Babi yang belakangan diberi kode Marco oleh pendaki lain mengendus bau
makanan. Untung saja, isi tenda selamat, tapi dinding tenda bagian belakang
lumayan robek meski tidak parah. Setelah Ikbhal dan teman-temannya datang
mereka segera meletakkan batu-batu di sekeliling tenda agar aman dari serudukan
babi. Dasar babi, memang babi lah.
Malam itu cerah, bintang terasa lebih dekat dibandingkan di
Pekanbaru. Siluet Puncak Talang juga terlihat dengan jelas. Usai makan malam,
beberapa orang masuk ke tenda, beberapa berjaga di luar sambil menikmati kopi.
Dari tempatku duduk di depan tenda, aku mendengar
sayup-sayup orang berkaraoke ria menyanyikan lagu dangdut lengkap dengan speaker-nya.
Dari tenda lainnya kudenger mereka menyanyikan lagu dengan suara sumbang
diiringi alunan gitar dan ukulele. Ada juga yang sedang menghangatkan diri
sambil mengelilingi api unggun. Malam yang indah dan cerah sebelum akhirnya
babi-babi itu datang menyerang.
“Marco!!! Tenda Biru,” teriakan lantang dari salah satu
orang dari tenda seberang parit. Teriakan tersebut disambut dengan suara heboh
dari dalam tenda. Berharap Marco (babi) segera menjauh. Berhasil diusir,
membuat Marco tak menyerah. Satu persatu tenda disambanginya, membuat kehebohan
dari tenda ke tenda malam itu.
Beberapa orang dari tenda lain berjaga di luar, dengan
memakai senter sambil menghalau jika babi-babi datang. Teriakan-teriakan terus
menggema di Cadas Talang hingga tengah malam. Aku memutuskan untuk tidur lebih
awal meskipun suara-suara teriakan dan endusan babi sesekali menjadi pengantar
tidurku yang sedang letih ini.
Tak jarang aku terbangun tiba-tiba, ketika teriakan keras
dari tenda sebelah yang menandakan Marco kembali datang. Lalu aku tertidur lagi
dan tak peduli entah Marco atau siapa berbuat keributan. Aku telah tenggelam
dalam pelukan malam yang dingin.
“Fi bangun Fi, jadi muncak gak, makan dulu ya,” suara dari
luar tenda membangunkanku. Saat ku cek jam di gawai waktu menunjukkan pukul
empat dini hari. Rencananya kami akan melanjutkan perjalanan menuju puncak
subuh itu. Aku segera membangunkan Sofi (eh, aku yang bangunin dia atau dia
yang bangunin ya? Lupa aku).
Ikbhal memberikanku semangkuk mie rebus. Satu mangkuk
untukku dan satu mangkuk untuk Sofi. Tak lupa segelas energen yang aku minum
berdua dengan Sofi. Aku segera melahap mie itu sebelum dinginnya subuh
mengambil kehangatannya. Meskipun tidak habis. Ketika membuka resleting tenda,
kabut pagi menerpa, tak lagi kulihat siluet Talang. Ikbhal mengatakan
perjalanan ke puncak akan ditunda sampai kabut hilang. “Naik pun sekarang tak
kelihatan apa-apa,” katanya.
Hingga pagi menjela, kabut tak kunjung hilang, disertai
gerimis mengundang membuatku merapatkan SB dan kembali tertidur. Hujan sempat
beberapa kali berhenti tetapi kabut tetap ada, hanya sesekali menghilang
kemudian kembali datang.
Katanya, cuaca di gunung tidak bisa diprediksi, jika sedang
beruntung pendaki akan mendapatkan pemandangan sangat indah. Seperti
pemandangan puncak Talang dari cadas, pemandangan tiga danau, yaitu Danau Di
Atas (berada di Nagari Alahan Panjang),
Danau Di Bawah (Nagari Bukik Sileh Kecamatan Lembang Jaya) dan Danau Talang
(Kampung Batu Dalam Kecamatan Danau Kembar). Selain itu, jug a ada hutan mati. Katanya
asmaul husna ke-99 berada di puncak Gunung Talang.
Tapi aku harus berpuas diri dengan hanya mendapatkan
pemandangan dari cadas, tanpa berhasil mencapai puncak, tanpa melihat
pemandangan tiga danau dan tanpa menikmati eksotisnya hutan mati. Aku anggap
ketidakberuntunganku hari itu adalah undangan gunung setinggi 2.597 mdpl ini
untuk berkunjung sekali lagi.
Pagi itu kami habiskan dengan berkeliling, mencari apa yang
bisa dicari dan mengabadikan apa yang bisa diabadikan. Bunga edelweis, kabut,
babi dan lain-lain. Aku berlari-lari kecil di cadas, seperti seorang anak yang
tidak pernah mendaki gunung. Sesekali aku hembuskan napas dan terlihat mulutku
seperti berasap ketika berbicara maupun menghebuskan napas. “Sof ngerokok
sof,” candaku.
Sebuah bendera merah putih berdiri tegak. Di bagian kakinya
disangga dengan tumpukan batu-batu. Mungkin agar tiang penyangganya tetap berdiri
tegak menghadapi terpaan angin siang malam di cadas.
Aku di antara kabut Gunung Talang |
Dika mengajak kami untuk melihat kawah ketika cuaca sedikit
lebih cerah. Aku, Sofi dan Bang Rezky mengiyakan untuk melihatnya. Berkata
dalam hati, kapan lagi coba. Sudah
kepalang tanggung.
Mendaki puncak ternyata sedikit lebih susah. Batu-batu yang
sedikit terjal serta napas yang ngos-ngosan ditambah tidak membawa
persediaan air untuk minum. Sesekali kami beristirahat. Ketika hampir mencapai
kawah dan sudah tercium bau belerang hujan rintik-rintik kembali mengguyur.
Tidak ada satu pun dari kami yang membawa mantel, karena tadi hanya berniat
untuk berkeliling, tidak untuk mencapai puncak.
Menuju puncak tapi tak sampai |
Hujan semakin deras, kabut semakin pekat. Dika menanyakan
kepada kami apakah ingin melanjutkan atau turun dan kembali ke tenda. Aku tidak
tahu apa-apa tentang Gunung Talang, resiko apa yang akan kami hadapi jika
melanjutkan perjalanan, Bang Rezky sepertinya pasrah dengan apapun keputusan
yang akan diambil.
Akhirnya, kemi turun. Sofi menyemangati diri dengan mengatakan
kepada kami, lebih tepatnya kepada dirinya sendiri. Katanya, puncak bukan
tujuan, pulang dengan selamat adalah tujuan sebenarnya. “Bulshit,”
batinku.
Turun gunung adalah hal mengerikan menurutku, bukan karena
aku takut ketinggian atau sejenisnya. Lebih tepatnya aku terlalu
mengkhawatirkan resiko terburuk, menggelinding hingga ke bawah misalnya, atau
salah berpijak dan terguling atau tersandung dan yang paling kutakutkan adalah
cedera lama yang bisa kambuh sewaktu-waktu. Kadang aku berpikir, jika aku
memiliki ketakuta akan ketinggian. Tapi aku berpikir sekali lagi, sepertinya
bukan demikian.
Aku pernah sekali ketika kelas VIII terjatuh dan membuat
dengkulku sempat berpindah tempat. Orang selalu mewanti-wanti untuk terus
berhati-hati ketika melangkah. Katanya jika pernah sekali, bisa dipastikan itu
akan terulang kembali.
Sudah lama rasanya tidak kejadian lagi, terakhir ketika
turun tangga di perpustakaan kampus beberapa tahun silam.
Bagi orang lain, turun mungkin hal mudah yang menyenangkan
serta tidak melelahkan. Mereka bisa turun dengan cepat bahkan sambil berlari.
Bagiku, turun meskipun tidak melelahkan tapi cukup membuat kakiku bergetar. Tak
mengherankan saat aku turun selalu berada di barisan paling belakang.
Aku memakai sepatu yang cukup nyama dipakai mendaki, sepatu
ini sudah menemani perjalananku hingga ke Bromo. Mungkin karena medan yang
lebih berat tapak sepatu sedikit terbuka ketika mencapai cadas semalam. Sedikit
was-was jika benar-benar lepas, artinya sepatuku akan lebih licin dan
membahayakanku. Benar saja, saat turun dari kawah tapak sepatu kiriku terlepas
dengan sendirinya. Duh malu aku sebenarnya, nampak kali sepatuku murahan.
Tertatih-tatih aku turun menuju tenda. Untung ketakutanku
tak terjadi. Ketika di jalanan landai, Sofi, Dika dan Bang Rezky berjalan
duluan dan kembali aku di barisan paling belakang.
Usai makan siang bersama kami berkemas untuk segera turun.
Membersihkan sampah dan kembali membawanya turun, berkemas mengepak pakaian dan
tenda.
Jaketku yang basah, SB yang lembab akibat air hujan yang
meresap ke dalam tenda membuat bebanku bertambah berat. Aku meminta Ikbhal untuk membawakan SB-ku , dan terang-terangan
ia menolaknya. (memang bangke). Aku beralih ke Rahmad, dengan senang
hati ia mau membawakan SB-ku dan mengurangi beban berat tas yang kubawa.
Meskipun telah berkurang satu beban, rasanya tasku tidak
terlihat semakin kurus dan terkesan sama saja seperti sebelumnya. Beratnya pun
sama, mungkin karena jaketku yang basah.
“Ada yang kehilangan sesuatu nggak, kacamata?” kata seorang
Bapak di tenda sebelah.
Seketika telingaku berdiri mendengar kata kacamata.
Pasalnya, aku kehilangan kacamata saat mendaki semalam. Kala itu, aku
menggantungkan kacamata di kerah leher karena malas memakainya. Sedikit
bersorak aku menyambut bahagia kacamata tersebut. “Selamat 300 ribu ku,” kataku
dalam hati. Padahal kehilangan kacamata kemarin sempat membuatku shock
dan menggalau sebelum akhirnya sampai di cadas.
Apa yang memang hak kita, milik kita, jika itu masih rezeki
kita tentu akan kembali kepada kita. Seperti kasus kacamata itu. Aku tidak
banyak berharap bisa menemukan kembali, bisa jadi kacamata itu terinjak
seseorang, bisa jadi jatuh tertutup daun atau hilang ditelan kabut lembut.
Tetapi ternyata Allah masih sayang dan memberikan kacamata itu dengan cara-Nya
sendiri.
Dika, Said, Rezky, Jos, Sofi, Nafi, Rahmad, Ikbhal |
***
“Fi, sinikan tasmu biar kubawakan, tak usah sok-sok an jatuh
terus. Bilang aja mau dibawakan tasnya,” kata Ikbhal setelah melihatku
terpeleset untuk kesekian kalinya. “Kalau kubawakan tasnya jalannya agak cepat
ya,” tambahnya.
Baca Selanjutnya: Gunung Talang I Love You 5.000 (Part 3)
Aahkkk gilaa pengalamannya seru banget kaya baca novel petualangan hehe.. Ada lanjutannya yaah ternyata!
ReplyDeleteCurhat itu kak
Deleteselalu pengen naik gunung, tapi sejauh ini masih shelter 1 marapi..ahaha tapi sepertinya Talang ini labih berat ya?
ReplyDeleteMirip2 kok kk. KKa adekan
DeleteSerunyaaa, seru emang kalau udah mendaki gunung ini. Kek ada tegang-tegangnya gitu...
ReplyDeleteLelah yang indah kak. Tegang yang dirindukan
Deletekeren ya, aku bahkan blm pernah nanjak seumur hidupku. baru hiking aja dah gempor hahhaa
ReplyDeletethx lho sharingnya
Cobalah kak. Setidaknya sekali deumur hidup jdi la
Delete