Pulang |
“Fi, sinikan tasmu biar kubawakan, tak usah sok-sok an jatuh terus. Bilang aja mau dibawakan tasnya,” kata Ikbhal setelah melihatku terpeleset untuk kesekian kalinya. “Kalau kubawakan tasnya jalannya agak cepat ya,” tambahnya.
Aku sebenarnya sangat senang Ikbhal menawarkan untuk
membawakan tasku yang berat. Tapi mendengar kata-katanya yang terakhir
membuatku mengurungkan diri menerima bantuannya. Aku sadar kondisiku, turun
dengan cepat sama saja akan merepotkan orang lain. Aku takut kejadian lama
terulang, dimana dengkulku kembali berulah. Menerima bantuannya berarti sama
saja mengiyakan jika aku harus berjalan cepat, dan itu mustahil. Kalau
kuterima, aku berpikir mereka akan menyalahkanku karena tetap lambat meskipun
tanpa beban. Setidaknya tas ini masih bisa menjadi alasanku untuk berjalan
lambat.
“Tak usahlah Bal, SB-ku aja dah cukup, tunggu aku kepeleset
sekali lagi baru bawakan tasku,” jawabku beralasan.
Baca Juga: Gunung Talang I Love You 5.000 (Part 1)
Baca Juga: Gunung Talang I Love You 5.000 (Part 1)
Baca Juga: Gunung Talang I Love You 5.000 (Part 2)
Benar saja, tak beberapa lama setelah itu aku jatuh
terduduk. Nyeri luar biasa kurasakan pada lututku, seperti keseleo tapi tidak
jadi, tapi rasa yang diberikan membuatku ingin menangis. Kembali aku teringat
rasa sakit ketika tukang urut mencoba membenarkan posisi dengkulku dalam sekali
sentakan yang mampu membuatku melolong kesakitan.
Aku ingin menangis, tapi malu dan hanya kutahan, aku ingin
berbicara tapi ketika suaraku keluar, aku takut suaraku tak lebih seperti suara
gadis cengeng yang meminta perhatian. Aku terdiam tak melakukan apa-apa, rasa
malu dan sakit bercampur menjadi satu. Sebuah kata keluar “Tunggu ya,” kataku
dengan wajah memelas. Aku memberikan tas ransel yang kugendong kepada Ikbhal,
mungkin dia kasihan melihatku. Meski aku juga kasihan melihat badannya yang
kurus menggendong carrier, panci, dan tasku.
Kami kembali melanjutkan perjalanan, Sofi berjalan lebih
dulu dan aku, tentu kau tau aku pasti di barisan belakang. Aku suka pendakian,
tapi aku selalu sedih dan bertanya kepada diri sendiri. Kenapa orang-orang
memaklumi lelah saat menanjak tapi menatap kasihan kepada orang yang lemah saat
turun gunung. Benar-benar tidak adil, kenapa tidak dimaklumi kedua-duanya.
Pandanganku semakin kabur, bukan karena aku tak memakai
kacamata. Tetapi karena ada air yang menghalangi pandangan, air yang ingin
tumpah karena tak mampu lagi dibendung. Aku kembali terduduk, tak mampu
berbicara. Ketika seseorang menanyakan keadaanku, aku terisak dan keluar air
yang kutahan beberapa waktu lalu. Terisak, tersedu-sedu, hingga tersedak, aku
yakin rombonganku menatapku ingin tahu, apa sebab aku menangis. Mengingat dan
menuliskan hal ini pun benar-benar memalukan rasanya. Ingin ku buang bagian
ini, tapi bagian ini pulak yang paling kuingat. Satu kata, memalukan.
Biasanya, jika aku menangis aku akan menangis di balik
bantal dalam kesendirian, agar tidak ada satu orang pun yang tahu. Atau
menangis di balik masker saat mengendarai sepeda motor ketika kehilangan ATM,
kali ini aku menangis di hadapan orang banyak. Aku tak tahu pandangan mereka
saat itu tentangku.
Dua kali aku hampir keseleo dan rasanya sangat sakit. Tetapi
aku tetap bersyukur karena kejadian itu tidak benar-benar membuatku keseleo.
Jika itu terjadi pasti akan sangat merepotkan orang lain, dan aku tidak ingin
membayangkannya. Baru kusadari ternyata tapak sepatuku sudah lepas dua-duanya,
pantas saja aku kerap terjatuh dan terpeleset.
Sedikit kejadian lucu usai aku terjatuh. Dika memberikan
krim pereda nyeri. Sofi memaksaku menaikkan celana hingga ke dengkul. Bukannya
tak mau, celanaku memang terbuat dari karet, tapi karena betisku yang besar
susah untuk menaikkannya. Akhirnya Sofi menyerah dan mengoleskan krim tersebut
di pergelangan kakiku. “Ya udah, oles di sini aja kali ya,” kata Sofi
mengoleskan tanpa meminta persetujuanku.
Dalam hati aku sedikit tertawa, bagaimana mungkin jika yang
bermasalah dengkul tapi yang dioles pergelangan kaki. Bukannya itu sama saja
dengan menambal lambung perahu bocor tapi yang ditambal bukan lambungnya.
Kubiarkan saja dia melakukan hal yang dia mau.
Hampir setengah lima sore kami tiba di Kedai Pak Bambang.
Ikbhal menyarankan untuk berganti pakaian di kamar kecil yang di pintunya
tertulis dilarang buang air besar. Beberapa di antara kami sempat mandi dan
berganti pakaian sebelum akhirnya menuju mobil. Sofi memilih mandi dan berganti
baju sebab dia membawa pakaian ganti, sedangkan aku enggan untuk mandi di
tempat tersebut karena pakaian gantiku, ku tinggal di mobil sebelum mendaki
kemarin.
Sembari menunggu Sofi aku duduk di salah satu kursi kayu
panjang di kedai tersebut. Tiba-tiba rasa mulas menghampiriku. Sontak tanganku
meraba perut yang kesakitan seolah-olah isi dalam perut meronta-ronta untuk
dikeluarkan. Rasa itu semakin menjadi-jadi, tak tertahankan bak cinta pertama.
Aku segera pindah mencari tempat sepi agar jika
sewaktu-waktu aku buang angin tanpa sengaja, tidak ada yang memperhatikan
apalagi menertawakan. Mondar-mandir aku menunggu Sofi, dengan suara lirih aku
memanggil nama Sofi yang berada di dalam bilik ganti. Andai tidak ada tulisan
dilarang BAB, mungkin aku sudah berlari masuk ke dalam dan ikhlas membuang
segalanya. Tapi tulisan itu benar-benar membuatku menderita.
Aku ingat, katanya jika sedang berada dalam situasi sepertiku,
hendaknya memegang batu dan mengantonginya agar berkurang rasa ingin BAB. Tak
pelak kulakukan hal tersebut. Menit pertama berhasil, beberapa saat kemudian
rasa itu datang lagi. Menderita kawan, sangat menderita. Biasanya aku selalu
bisa menahan rasa, tapi ini benar-benar tak tertanggungkan.
Sofi keluar dari kamar kecil dan memberiku saran gila yang
tak ingin kulakukan dan malas kubayangkan apalagi kuceritakan. Intinya aku
menolak mentah-mentah saran yang Sofi berikan tanpa merasa berdosa sedikitpun.
Jalan satu-satunya adalah turun menuju masjid tak jauh dari
tempat kami parkirkan mobil. Tak mungkin untuk menunggu lebih lama, akhirnya
aku dan Ikbhal turun duluan. Hamparan kebun teh tak lagi terasa indah seperti
saat pertama aku melihatnya. Rasa mulas yang semakin manjadi-jadi membuatku
harus berjalan cepat dan terburu-buru, sesekali perutku berbunyi dengan keras.
Seperti kentut tapi tidak keluar angin. Angin berputar-putar seperti puting
beliung dalam perutku.
Ikbhal berjalan duluan, tidak ada percakapan sepanjang jalan
antara kami. Dia hanya memberi tahu jika Desa tak lagi jauh. “Nampak tower itu,
nggak jauh kan?” ucapnya yang kusambut anggukan lemah.
Jika dilihat mata memang terasa dekat, tapi ketika dijalani
sungguh kelokan-kelokan membuat tower itu semakin menjauh. Andai Ikbhal melihat
wajahku saat itu, mungkin wajah aneh yang akan ia lihat. Orang cantik aja pasti
jelek kalau nahan boker, apalagi aku.
Sesekali aku berhenti untuk menormalkan perutku, meski tidak
banyak membuahkan hasil. Padahal sebelumnya aku berniat mengambil foto ketika
pulang di kebun teh. Namun apa daya, rencana hanya rencana, yang terpenting
bagaimana aku bisa sampai masjid dengan cepat.
Situasi darurat membuat otakku berpikir lebih cepat dari
pada biasanya. Lewat seorang bapak-bapak mengendarai motor sendirian. Segera ku
angkat tanganku berusaha menghentikan laju motor bapak tersebut.
“Pak-pak, masjid masih jauh tak pak, perut saya sakit sekali
pak, boleh nebeng saya sampai masjid pak,” ucapku dengan wajah memelas.
Entah kasihan entah tidak tega bapak itu akhirnya memberikan
tumpangan. Senyumku sedikit lebar dan melambaikan tangan ketika motor yang
membawaku melewati Ikbhal yang sedang berjalan kaki. “Aku duluan ya,” kataku
menggerakkan bibir tanpa mengucapkan suara seperti memberi isyarat.
Sampai di persimpangan, arah masjid turun ke bawah,
sedangkan tujuan bapak yang mengantarku naik ke atas. Awalnya ia akan
menurunkanku di persimpangan tersebut, tapi ketika melihat wajahku si
bapak tak jadi menghentikan motornya dan
mengantarku sampai depan masjid dengan selamat. Rasa terimakasih kuucapkan
sebaik mungkin kepada si bapak yang berbaik hati memberikan tebengan pada orang
yang tak dikenalnya.
Akhirnya hari itu berakhir dengan baik, meski sulit rasanya
melewati hari yang berat. Usai melepaskan dan mengikhlaskan segalanya aku
mengguyur seluruh tubuhku dengan air yang dingin. Brrrr... segar rasanya. Usai
mandi aku memakai lagi pakaianku yang sudah kotor dan menuju ke mobil untuk
berganti pakaian. Kulihat Ikbhal sudah tiba di sana. Ia sempat menggerutu dan
menyesal mengantarkanku turun duluan karena pada akhirnya aku meninggalkannya.
Percayalah Bal, situasi benar-benar darurat.
***
Tidak semuanya mandi di kedai Pak Bambang. Setelah semuanya
tiba di mobil dan barang-barang dimasukkan ke dalamnya, kami bergegas menuju
SPBU terdekat untuk membersihkan diri bagi yang belum mandi. Ikbhal urung mandi
di masjid, katanya pas dia datang airnya tidak keluar. Aish beruntungnya aku.
Formasi saat pulang sama seperti saat pergi, bedanya
barang-barang di bawah kakiku sudah tidak ada lagi. Sehingga kakiku bebas ingin
kuarahkan kemana. Kami sempat makan malam mengisi perut sebelum pulang ke
Pekanbaru. Untung saja makan dulu, jika tidak mungkin isi perutku keluar
seperti saat pergi.
Aku duduk di antara Rahmad dan Sofi. Ketika masuk ke mobil,
Sofi langsung bersandar ke pintu dan tewas seketika. Sementara Rahmad sibuk
dengan dunianya sendiri. Dan aku? Aku sibuk mencari posisi terbaik untuk
meletakkan kepala.
Duduk di tengah-tengah benar-benar azab rasanya, tidak ada
sandaran untuk kepala. memaksakan bersandar membuatku menengadahkan kepala ke
atas sehingga leher terasa tercekik. Tempat terbaik untuk bersandar tentu saja
bahu sofi yang nyaman.
Jalan yang berkelok-kelok membuat badanku terbanting ke kanan
dan ke kiri. Tak ada pilihan lain selain mengikuti irama jalan. Tentu saja aku
sulit untuk memejamkan mata. Kasihan Rahmad dan Sofi, harus sering berbenturan
dengan badanku.
Siapa bilang bahu itu keras dan tidak nyaman. Di mobil, bahu
adalah tempat terbaik untuk bersandar. Bahu Sofi misalnya, tetapi lama tidur di
posisi yang sama membuat pinggangku terasa sakit. Akhirnya aku merubah posisi
ke arah Rahmad, meminjam sebentar sandaran kursi miliknya untuk beberapa saat.
Hingga tiba-tiba kepalaku terjatuh dan mendapatkan sandaran yang lebih nyaman.
Senyaman-nyamannya bahu Sofi, ternyata bahu Rahmad lebih nyaman karena lebih
lebar.
Untuk Sofi aku meminta maaf membuat sakit bahumu saat di
mobil. Untuk Rahmad aku meminta maaf karena ketidaksopananku meminjam bahumu
untuk sandaran tanpa permisi. Karena kalian aku bisa memejamkan mata lebih baik
hingga sampai di Pekanbaru.
Terimakasih buat Coar Adventure untuk petualangan yang luar
biasa. Meski puncak tak dapat diraih, setidaknya bertambah persaudaraan dan
silaturahmi. Jangan saling melupakan sebab kita pernah berada dalam satu
jepretan yang sama.
Taken by Ikbhal |
Ternyata, susah menjaga image ketika di gunung.
Talang, 27-29 September 2019. Annafimuja
Kenapa judulnya I Love You 5.000, karena tulisan ini kurang lebih dari part 1 sampai 3, memuat hingga lebih dari 5.862 kata.
Tinggalkan komentar jika kamu membaca tulisan ini.
ayo cobain Kerinci lagi whahhaha
ReplyDeleteDengkulku blum sanggup
DeleteAnak tangguh 😊
ReplyDeleteTidak setangguh kelihatannya
Delete